Bisnis.com, SEMARANG – Pemerintah Jawa Tengah dituntut meningkatkan daya saing industri di wilayah ini, sehingga bisa bersaing di pasar ekspor.
Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Tengah Margo Yuwono mengatakan saat ini sumbangan produk ekspor Jateng lebih kecil dibandingkan dengan provinsi besar di pulau Jawa. Saat ini Jateng hanya mampu menyumbangkan nilai ekspor 3,43%, padahal dua daerah terdekat yakni Jawa Tumur dan Jawa barat menyumbangkan nilai ekspor hingga dua digit.
“Jawa Tengah share-nya itu masih kecil. Masih 3,43%, dibanding Jawa Barat 17,43%, Jawa Timur 11,14% dari nilai ekspor nasional,” kata Margo di Semarang. Senin (16/10/2017).
Lebih lanjut dia mengatakan perlu kerja keras dari pemerintah dan para pemangku kepentingan agar capaian ini dapat ditingkatkan. Dia menjelaskan jika ditarik ke data lebih ke belakang, maka Jateng masih menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan.
“Nilai eskpor jawa Tengah lebih rendah dibandingkan impor, meski begitu defisit semakin lama semakin mengecil. Ini indikasi yang bagus,” ujarnya. Margo mengatakan pemerintah harus lebih ekspansif mendorong ekspor selain itu mendorong produk eskpor baru termasuk negara tujuan.
Dengan upaya ini diharapkan defisit neraca perdagangan ini dapat diatasi. Ia mengingatkan berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan BPS, sebanyak 98.98% usaha di Jateng merupakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Untuk itu pengembangan dan pembukaan pasar ekspor baru harus berlandaskan segmen itu, sehingga memberikan dampak berganda (multiplier effect) terhadap ekonomi regional. “Harus dicarikan produk [layak ekspor] lainnya, sayang UMKM besar jumalahnya kalau tidak mampu dieskpor,” katanya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng Arif Sambodo mengatakan pihaknya mendorong peningkatan ekspor dan pengendalian impor untuk memperkuat Jateng. Dia mengatakan ini tercermin dari data yang ada, di mana nilai ekspor nonmigas secara tahunan tumbuh 9,08% (year-on-year/y-o-y).
Pihaknya juga mulai menggarap segmen Asia Tenggara yang menerapkan tarif preferensi untuk produk ekspor Indonesia. “Selain itu, terkait kebijakan yang ditempuh tentunya optimalisasi produk orientasi eksport dengan memanfaatkan kebijakan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor [KITE],” katanya.
Sedangkan untuk menekan impor, Arif mengatakan kawasan industri yang ada di Jateng didorong mengembangkan produk-produk substitusi impor.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Jateng pada September 2017 mencapai US$498,18 juta atau mengalami penurunan sebesar11,51% dibanding Agustus yang mencapai US$562,99 juta. Akan tetapi secara kumulatif Januari-September 2017 nilai ekspor ini naik 11,46% menjadi mencapai US$4,41 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya US$3,96 miliar.