Bisnis.com, BATANG—Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang ditargetkan beroperasi pada 2020, hingga kini belum sepenuhnya terbebas dari masalah, terutama menyangkut proses ganti rugi lahan masyarakat terdampak.
Meskipun Pengadilan Negeri Kabupaten Batang telah melakukan eksekusi lahan milik warga terdampak melalui konsinyasi, hingga kini ada sekitar 74 bidang lahan PLTU yang masih bermasalah karena warga tidak mau menerima uang ganti rugi.
Pada rencana awal, bila pengerjaan pembangunan PLTU berkapasitas 2x1.000 megawatt itu dapat dilakukan sejak 2012, maka pada 2017 sudah selesai pembangunannya dan bisa siap beroperasi.
Proyek pembangunan PLTU Batang menempati lokasi di tiga desa di Kecamatan Tulis dan Kandeman, yaitu Desa Karanggeneng, Ujungnegoro, serta Ponowareng.
Akan tetapi, akibat adanya masalah pembebasan lahan milik warga seluas 12,5 hektare dari 226 hektare yang dibutuhkan oleh PLTU itu, maka waktu pekerjaan pembangunan ketenagalistrikan terbesar se-Asia Tenggara itu menjadi molor.
Kendati demikian, proyek senilai sekitar empat miliar dolar Amerika Serikat tersebut, kini tahapan pembangunannya terus berjalan sebagai upaya mengejar pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap ketenagalistrikan di Pulau Jawa dan Bali.
Konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang di dalamnya terdapat Adaro, Itochu, dan J. Power sebagai pengembang proyek PLTU Batang, kini terus mengebut pengerjaan pembangunan fasilitas ketenagalistrikan di daerah tersebut.
Presiden Direktur PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) Takashi Irie mengatakan proyek pembangunan PLTU Batang kini sudah memulai pemasangan struktur baja yang ditandai dengan pemasangan tiang kolom struktur baja bangunan turbin unit 1.
Pembangunan PLTU merupakan bagian dari program elektrifikasi Jawa-Bali serta komitmen pemerintah untuk merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35.000 MW dalam jangka waktu lima tahun, yaitu 2014-2019.