Bisnis.com, SEMARANG – Tak terasa, sudah hampir tutup tahun. Saatnya mengevaluasi yang lalu, bersiap-siap membuka lembaran baru, mengatur strategi jitu di tahun yang baru.
Menilik perjalanan hampir setahun ini, sektor properti Jawa Tengah boleh dibilang tidak terlalu menggembirakan.
Performa perekonomian Jawa Tengah yang sejak 2012 konsisten berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional bukan menjadi patokan bagi sektor properti untuk tumbuh.
Penurunan daya beli masyarakat terhadap properti dirasakan oleh sejumlah pengembang di Kota Semarang dan sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Penurunan tersebut berkisar antara 10%-50%.
Penurunan daya beli masyarakat tahun ini sudah terjadi sejak triwulan pertama dan terus menurun hingga triwulan ketiga. Daya beli masyarakat yang turun disebabkan oleh banyak faktor.
Marketing Manager Perumahan Graha Padma Semarang, Nurwindhia Buntario mengatakan daya beli masyarakat sebenarnya telah terjadi sejak tahun lalu. Pada tahun ini, tren penurunannya ditaksir 20%-30% dibandingkan dengan tahun lalu.
Menurutnya, penurunan tidak hanya terjadi di sektor perumahan, tetapi di segala sektor perekonomian di Indonesia.
Sektor perumahan, kata dia, sebenarnya dibandingkan dengan sektor lain tetap akan ada peminat karena perumahan itu termasuk dalam kategori kebutuhan primer.
Dia optimistis pada tahun depan penjualan mampu meningkat sekitar 5%. “Graha Padma terus mendongkrak dengan terus menggelar event-event,” ujarnya.
TAHUN POLITIK
General Manager Project dari Citraland BSB City Jatmiko Arif Wibowo mengungkapkan suhu politik juga berperan penting dalam tren penurunan daya beli terhadap properti.
Di Indonesia gejolak politik pasti berdampak pada sektor ekonomi. Pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun ini juga menjadi faktor yang menyebabkan konsumen lebih berhati-hati dalam membeli properti
Menurutnya, tren tersebut akan terus menurun hingga pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2018. Namun, pihaknya tetap akan terus berupaya meningkatkan daya beli masyarakat terhadap sektor properti.
Pada tahun ini, Jatmiko memperkirakan penurunan hampir 20%. Desember pun sepertinya tetap menurun karena konsumen fokus pada liburan akhir tahun.
“Pada 2017 hingga akhir Oktober, penjualan kami telah membubuhkan sekitar Rp140 miliar. Rumah yang kami tawarkan Rp500 juta hingga Rp2,5 miliar. Kalau unitnya pada tahun ini sudah terjual sekitar 105 unit.”
Marketing Manager dari Grha Candi Golf Semarang Wibowo Tejosukmono merasa penurunan daya beli masyarakat terhadap properti kelas menengah ke atas baru dirasakan pada pertengahan tahun.
Pada awal tahun sebenarnya masih stabil dan penjualan juga bagus. Namun, memasuki semester kedua mulai tren penurunan sekitar 30%. Kalau untuk penjualan pada perumahan kelas menengah ke bawah masih bergerak aman. “Tahun ini mampu menjual 70 unit.”
Dia menyayangkan dengan tren penurunan daya beli terhadap properti. Menurutnya, dukungan bank terhadap penjualan properti sangat bagus. Pada tahun ini bank-bank di Indonesia suku bunganya di kisaran 7%-9% itu sebenarnya bagus untuk melakukan investasi.
Di sisi lain, Grha Candi Golf juga menawarkan konsep rumah vertikal yang kini cukup populer di kalangan masyarakat menengah ke atas. Mereka memilih hunian vertikal karena mempunyai pemandangan yang indah serta didukung dengan landscape yang memadai.
Sementara untuk harga, Grha Candi Golf bisa dipesan sesuai dengan permintaan konsumen untuk pembangunan rumah ingin seperti apa nantinya.
Selain itu, Grha Candi Golf juga memberikan potongan khusus sebesar 30% guna menikmati fasilitas yang ada seperti, lapangan golf, Water Blaster, maupun sekolah internasional kepada costumer atau warga yang menempati perumahan.
Saat ini, Grha Candi Golf juga terus melakukan upaya pemasaran dengan melakukan pameran 10 kali setiap tahun serta memberikan harga khusus bagi costumer yang membeli rumah siap huni.
“Kami berharap pada tahun depan dapat menggeliat dan ada peran pemerintah untuk meningkatkan kembali ekonomi di Semarang,” ujarnya.
Hal yang berbeda justru dialami oleh Amaya Properti, meskipun kecenderungan penjualan rumah mewah tahun ini turun, nampaknya malah meningkat tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.
Nathalia Iswanti Tjokrohadi, General Marketing Marketing Sales Perumahan The Amaya, menuturkan tahun ini naik karena Amaya melakukan pendekatan persuasif ke konsumen. Cara ini dinilai cukup berhasil karena di tengah bisnis properti di Semarang yang turun Amaya tetap saja eksis.
Kenaikan pendapatan yang diterima oleh Amaya mencapai 35%, dan paling laku keras di pasaran yakni tipe yang paling murah berkisar di harga Rp499 juta.
Selain itu, Amaya juga mengembangkan Roodwood ini mirip dengan apartemen. Namun, yang membedakan di sini, konsumen mendapatkan hak sewa tanah tersebut. Untuk fasilitas yang tawarkan sama seperti apartemen yaitu laundry dan sebagainya.
Untuk tipe lain seperti Montana, menjadi best selling karena ketika membangun hingga jadi langsung ludes terjual, dan kini membuat lagi 38 unit untuk Montana dengan harga Rp1,7 miliar.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan Amaya memanfaatkan kuartal terakhir 2017. Menurutnya, pada saat itu banyak konsumen yang mencari rumah siap huni sehingga momentum itu yang didapatkan oleh Amaya.
Nathalia optimistis pada 2018 sebagai tahun politik nantinya perekonomian masyarakat akan semakin menggeliat, terutama karena euforia masyarakat Jateng yang akan memilih pemimpin baru. Ia memperkirakan tahun depan properti akan naik lebih 5%.
Selain itu, ia membeberkan mengapa properti di Amaya naik karena kuatnya kerja sama antara pengembang dan juga perbankan yang memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) cukup ringan untuk perumahan Amaya.
DAYA BELI
Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Diponegoro Semarang FX Sugiyanto mengatakan saat ini kecenderungan industri properti turun karena daya beli masyarakat yang sedikit, khususnya untuk tipe rumah menengah ke atas. Pada tahun ini, konsumen lebih menyimpan uang mereka masing-masing.
Untuk rumah tipe yang kecil masih banyak diminati oleh masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, karena sesuai dengan program sejuta rumah oleh pemerintah, sehingga properti untuk tipe kecil masih terus tumbuh dengan pasar yang cukup potensial.
Kecenderungan masyarakat di Jateng lebih memilih membeli rumah yang berukuran kecil adalah karena murah. “Sementara untuk tipe besar kebanyakan, bukan tangan pertama pembeli sehingga, kalangan menengah keatas lebih memilih membeli rumah bekas ketimbang harus beli yang baru.”
Sebenarnya para pengembang sudah melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak penjualan properti mereka. Salah satunya dengan mengadakan pameran sebanyak 10 kali namun cara ini belum efektif di terapkan tahun ini.
Selain itu, ada pergeseran pola konsumsi yang diterapkan ia mencontohkan, masyarakat kini cenderung merawat rumah ketimbang membeli rumah baru. Hal ini mengakibatkan, dana yang digunakan membeli rumah justru digunakan untuk rekreasi keluarga.
Untuk tahun depan diperkirakan, industri properti akan naik 5% dibandingkan dengan tahun ini karena para pengembang lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di 2018.
Meskipun tahun ini tak terlalu menggembirakan, sejumlah pihak masih optimistis pada 2018—yang tak lain adalah Tahun Anjing Tanah dalam penanggalan China—sektor properti Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan tahun ini.