Bisnis.com, KLATEN – Lagu berjudul Genjer-genjer berdendang setelah Sutrisno, 66, meletakkan piringan hitam ke vinyl player di rumahnya Kampung Tijayan, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom.
Lagu lawas yang dinyanyikan Lilis Suryani itu mengiringi langkah Sutrisno menuju lemari besar di salah satu sudut rumahnya.
Siang itu, pensiunan polisi tersebut menunjukkan beragam koleksi radio kuno hingga piringan hitam, tertata rapi pada lemari berpintu kaca. Piringan hitam buatan 1963 ia putar untuk menunjukkan koleksi-koleksinya masih terawat.
Tak terkecuali tumpukan radio di dalam lemari. Sesekali ia memutar volume serta tuning radio-radio buatan 1960an dengan sumber energi kebanyakan dari batu baterai. Semuanya masih berfungsi dengan suara yang dihasilkan relatif jernih.
Sutrisno mulai mengoleksi beragam radio kuno sejak 2005. Saat itu, ia masih aktif berdinas sebagai salah satu polisi di Polresta Solo sebelum memasuki masa pensiun pada 2010. Pasar klithikan serta barang antik di wilayah Solo hingga Jogja akrab ia sambangi untuk memburu beragam barang kuno.
Bapak tiga anak dan kakek dari lima cucu itu mengoleksi radio kuno terinspirasi dari ayahnya, Gito Darsono, yang bekerja sebagai pedagang. Sutrisno mengisahkan pada 1962 ayahnya memiliki satu radio tabung dengan sumber energi 75 batu baterai menjadi pusat hiburan warga.
Saban Sabtu malam, rumahnya menjadi tempat berkumpul warga untuk mendengarkan siaran wayang semalam suntuk. Saat itu, Sutrisno masih duduk dibangku kelas 5 SD.
“Gagasan saat itu membeli radio untuk menyenangkan banyak orang. Saya ingin sejarah itu jangan sampai hilang. Akhirnya melekat dengan sendirinya dan meneruskan kesenangan mengoleksi radio kuno,” kata Sutrisno saat ditemui wartawan di rumahnya, Rabu (12/9/2018).
Koleksi radio kuno Sutrisno kini mencapai 300 unit dengan onderdil masih asli.
Sementara, koleksi piringan hitam mencapai 350 unit yang mulai ia kumpulkan sejak 2006. Untuk perawatan, Sutrisno mengaku tak terlalu ribet. Sesekali ia memutar satu per satu radio dan membersihkan setiap bagian agar mesin kuno di dalamnya tidak karatan. Ketika ada koleksi yang rusak, ia langsung membawa ke salah satu temannya berprofesi tukang servis radio.
Sementara, piringan hitam rutin ia keluarkan dari wadahnya serta diputar agar tak berjamur.
Awalnya Sutrisno hanya berkeinginan mengumpulkan radio-radio kuno serta piringan hitam sebagai koleksi pribadi. Namun, banyaknya orang yang berdatangan untuk membeli koleksi-koleksi itu membuat Sutrisno merelakan sebagian koleksi terutama radio tabung buatan 1960an ke orang lain.
“Dulu punya radio tabung itu sampai 30 unit. Sekarang sudah habis dibeli orang,” ungkapnya.
Ia pun tak menyangka mengoleksi barang kuno bisa mendatangkan penghasilan. Soal harga koleksi radio kuno yang masih ia simpan jika ada yang berminat, Sutrisno menuturkan berada pada kisaran Rp200.000-Rp600.000. Sementara, koleksi piringan hitam dihargai Rp200.000-Rp500.000.
Meski siap merelakan barang koleksinya dibeli orang, Sutrisno mengaku tak seluruh barang ia jual. Seperti salah satu pengeras suara buatan 1963 warisan ayahnya. Begitu pula dengan piringan hitam album Lilis Suryani yang salah satu lagunya berjudul Genjer-genjer.
Awalnya ia memiliki empat piringan hitam album Lilis Suryani yang didapatkan dari para pedagang di wilayah Jogja sejak mulai mengoleksi barang kuno. Namun, dari empat koleksi itu dua koleksi album sudah terbeli dengan harga Rp450.000 dan Rp500.000.
Alasannya untuk tidak menjual koleksi album tersebut lantaran nilai kelangkaannya. Seperti diketahui, lagu Genjer-genjer sempat dilarang dinyanyikan pada masa orde baru lantaran dikaitkan dengan komunis.
“Koleksi ini termasuk langka. Banyak yang memiliki koleksi piringan hitam lagu Genjer-genjer yang akhirnya dimusnahkan. Namun, masih ada yang menyimpan. Saya mendapatkannya ketika mendatangi pedagang di wilayah Jogja,” jelas Sutrisno.