Bisnis.com, SEMARANG — Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12 persen bagi kebutuhan pokok terus menuai kontroversi. Di Jawa Tengah, kalangan pengusaha memberi sejumlah catatan terkait dengan rencana tersebut.
“Kami ini pengusaha. Kami membayar pajak. Kami merasa mendapat kehormatan bisa membayar pajak. Dengan pajak, kita bisa membangun negara ini dan berkontribusi lebih, tetapi rencana kenaikan ini harus tepat sasaran, [kondisi ekonomi] harus stabil dulu, jangan di masa pandemi,” jelas Frans Kongi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (16/6/2021) lalu.
Kepada Bisnis, Frans mengungkapkan bahwa kalangan pengusaha tidak menolak sama sekali atas rencana kenaikan PPN yang digulirkan pemerintah. Meskipun demikian, dengan kondisi perekonomian nasional yang masih terdampak pandemi, kenaikan PPN tersebut dikhawatirkan bakal memberikan dampak negatif.
“Prinsipnya, kami [pengusaha] okelah, tetapi tunggu pertumbuhan ekonomi kalau sudah 7 persen. Sekarang [penanganan] Covid-19 yang utama, stop dulu ini, baru kita genjot [penerimaan] pajak. Kalau Covid-19 tambah berat, kita tidak ada uang, rakyat juga susah. Sekarang jangan dulu [naikkan] pajak, biarkan orang belanja dan perekonomian kita tumbuh,” jelasnya.
Frans juga mengungkapkan bahwa saat ini, perlahan-lahan geliat industri di Jawa Tengah sudah mulai mengalami perbaikan. Permintaan pesanan ekspor dari negara besar, seperti Amerika Serikat, sudah mulai bertambah. Namun, kondisi tersebut masih jauh dari kata normal.
“Permintaan itu sudah mulai ada, tetapi di Amerika Serikat itu juga keadaan ekonomi dia baru mulai pulih. Jadi memang tidak seperti dulu, artinya pesanan kita masih dihutang. Ini juga menghambat kita untuk menyediakan bahan baku, misalnya ,di sektor garmen yang bahan bakunya harus impor,” jelas Frans.
Kenaikan PPN hingga 12 persen, menurut Frans, akan memberatkan kalangan pengusaha yang sampai saat ini masih sangat mengharapkan peningkatan konsumsi pasar domestik. “Realistis saja, pandemi harus selesai dulu, ekonomi harus stabil,” jelasnya.
Dia juga menyebutkan bahwa pemerintah mesti adil dalam menerapkan pajak bagi kebutuhan pokok masyarakat. Jangan sampai, masyarakat dengan kondisi perekonomian rendah yang menjadi korban.
“Rakyat yang miskin memang harus disubsidi. Jadi, yang diambil pajaknya dari orang-orang yang lebih mampu. [Bagi masyarakat dengan penghasilan yang lebih tinggi] kalau pajak 10 persen tidak ada rasanya itu, tapi untuk rakyat kecil jangan diberi pajak,” katanya.