Bisnis.com, SEMARANG - Sebanyak 1.750 pekerja di Kota Semarang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari-April 2025.
Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang mencatat gelombang PHK tersebut umumnya disebabkan karena kepailitan perusahaan seperti yang dialami oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.
"PHK ini bukan karena apa atau suatu masalah, tetapi terbanyak disebabkan karena pailit," jelas Sutrisno, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang, dikutip dari siaran pers Selasa (10/6/2025).
Sutrisno menyampaikan bahwa sebanyak 1.207 pekerja dilaporkan mengalami PHK lantaran perusahaannya pailit, sedangkan 58 kasus PHK disebabkan karena efisiensi akibat kerugian, 98 kasus pencegahan kerugian, 369 kasus perpindahan perusahaan, serta pelanggaran dan penggabungan perusahaan masing-masing 17 dan satu kasus.
"Alhamdulillah, dari jumlah sekian itu kami berunding bagaimana supaya hak-hak mereka itu tentang jaminan kehilangan pekerjaan [JKP] dan jaminan hari tua [JHT] kami koordinasi betul sehingga alhamdulillah dari jumlah 1.200-an itu dapat kami selesaikan dalam waktu hampir 20 hari, di mana tiap hari ada 60 orang,” jelas Sutrisno.
Adapun, pemindahan perusahaan atau relokasi terjadi di beberapa perusahaan di Kota Semarang. Umumnya, perusahaan tersebut pindah ke wilayah Grobogan, Jepara, maupun Ungaran. Sutrisno memastikan perpindahan tersebut bukan karena tingginya upah minimum regional (UMR).
Baca Juga
“Bukan karena UMR. Pengusaha sudah sadar bahwa UMR yang baik menunjukkan kualitas perusahaan yang bagus, produksinya tinggi, serta daya saing pekerjanya tinggi,” tegasnya.
Sebagian besar kasus PHK di Kota Semarang masih bersumber dari industri garmen yang tertekan oleh persaingan global, khususnya dari negara-negara dengan biaya produksi lebih rendah. Kondisi ini sudah terjadi dalam 2 tahun terakhir, dengan jumlah PHK tahunan berada di kisaran angka 1.000-an.
Sebagai respons terhadap situasi ini, Disnaker Kota Semarang telah menjalankan program pelatihan kerja untuk generasi muda dan calon pelaku usaha baru.
Sutrisno mengatakan bahwa masyarakat dapat mengusulkan program pelatihan melalui kelurahan. Namun, kapasitas program masih terbatas.
“Kami banyak dari dana APBN. Tapi kena revisi juga, turun. Sebelumnya yang mencapai Rp1 miliar, sekarang hanya dapat sekitar Rp800 juta,” tandasnya.