Bisnis.com, SEMARANG – Ekonomi Jawa Tengah mengalami pertumbuhan sebesar 5,27% sepanjang 2017 karena ditopang oleh sejumlah sektor.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jateng Margo Yuwono mengatakan perekonomian Jateng berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku tahun 2017 mencapai Rp1.187,04 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp894,05 triliun.
“Ekonomi Jateng tahun 2017 tumbuh stagnan pada angka 5,27%. Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha lnformasi dan Komunikasi yakni [13,27%]. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen lmpor [7,83%],” kata Margo, Senin (5/2/2018).
Selain itu, struktur ekonomi Jateng 2017 dari sisi produksi masih tetap didominasi oleh lapangan usaha industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 34,96%.
Sementara itu, dari sisi pengeluaran didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PKRT) dengan kontribusi sebesar 60,71%.
Margo menambahkan ekonomi Jateng khusus triwulan IV-2017 mencatatkan pertumbuhan 5,40% year on year (yon-y).
Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh semua lapangan usaha, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai lapangan usaha informasi dan komunikasi yang tumbuh 18,81%.
Dari sisi pengeluaran, pendorong pertumbuhan tertinggi dicapai oleh komponen ekspor yang tumbuh sebesar 23,55%.
“Perekonomian Jateng masih di topang oleh industri pengolahan terutama garmen karena sudah sejak lama menjadi andalan guna menyokong perekonomian masyarakat, khususnya yang di beberapa kota yakni Semarang, Solo, dan Pekalongan,” ujarnya.
Ekonomi Jateng triwulan lV-2017 mengalami pergerakan penurunan sebesar 2,18% quarter to quarter (q-to-q).
Dari sisi produksi, penyebab utama disebabkan oleh pertumbuhan lapangan usaha, pertanian, kehutanan dan perikanan yang mengalami penurunan sebesar 24,81%.
Sementara dari sisi pengeluaran disebabkan komponen impor yang meningkat hingga 21,40% sementara komponen ekspor hanya tumbuh 1,68%.
Margo menjelaskan impor yang naik salah satunya disebabkan oleh beberapa perusahaan industri pengolahan yang masih bergantung dengan bahan baku dari luar negeri.
Selain itu, gaya hidup masyarakat yang sering menggunakan barang dari luar negeri menyebabkan impor di Jateng terus naik.
“Kami mengimbau kepada setiap pengusaha agar menggunakan bahan baku dari dalam negeri. Hal ini dimaksudkan supaya impor tidak terus naik,” tambahnya.