Bisnis.com, BANTUL—Salah satu naib (penghulu pernikahan) di Bantul tercatat jadi salah satu penghulu yang paling banyak melaporkan gratifikasi yang diterimanya selama bekerja.
“Jangan kasih amplop! Bikin repot penghulu,” ujar Samanto, penghulu KUA Imogiri, Bantul saat ditemui di rumahnya selepas Isya, akhir pekan lalu. Seketika derai tawanya membahana setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Ia menggeleng-geleng sambil mengenang kisahnya hingga masuk dalam daftar lima besar pelapor gratifikasi terbanyak 2015-2018. Jumlah gratifikasi yang ia terima memang tak banyak, “hanya” Rp2.985.000 dengan jumlah laporannya mencapai 38 laporan. Namun jangan salah kisahnya tentang gratifikasi yang ia terima, berjibun.
Sesungguhnya, Samanto mengaku tak mengira bisa masuk daftar lima besar yang dikeluarkan oleh KPK tersebut. Pasalnya gratifikasi yang ia laporkan sudah sejak 2013 lalu, jauh sebelum KPK mengeluarkan putusan pada 25 Juli 2013 mengenai status hukum pemberian gratifikasi kepada penghulu.
Sambil sesekali bercengkrama dengan anak keduanya, ayah tiga anak tersebut mengisahkan urusan lapor melapor gratifikasi tersebut bermula saat institusinya jadi sorotan Kejaksaan. Pasalnya ada begitu banyak laporan yang masuk tentang adanya pungli di Kantor Urusan Agama (KUA).
Kala itu ia menyebut jumlahnya ditengarai mencapai triliunan rupiah di seluruh Indonesia. Media pun ramai-ramai menyoroti badan yang mengurusi perihal pernikahan tersebut.
Samanto yang kala itu bertugas di KUA Pleret, Bantul merasa gerah. Ia pun mengajak kepala KUA nya berdikusi untuk mencari kejelasan status hukum akan pemberian dan amplop yang seringkali diterimanya saat menikahkan warga di luar kantor.
Akhirnya diputuskan mereka harus proaktif mencari format form pelaporan gratifikasi yang diterbitkan KPK. Setelah mendapatkannya, ia lantas meniru dan menyusunnya sendiri menggunakan aplikasi Microsoft Excel.
“Ya saya tulis pemberi, berapa jumlahnya, tanggal berapa diberi, alasannya apa. Saya tulis saja ucapan terima kasih karena menghadiri nikahan karena memang itu alasannya. Apa lagi?” tawanya kembali berderai.
Laporan pertama kali yang ia susun, lantas ia kirimkan ke Kantor Kemenag DIY dan KPK pada Juni 2013. Pada 7 Juli 2013, tim dari KPK datang ke KUA Pleret untuk mengklarifikasi dan memverifikasi laporan yang ia tulis tersebut.
Kesempatan langka dikunjungi oleh tim KPK RI itu ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk bertanya sebenarnya apa saja yang masuk dalam klasifikasi gratifikasi. Sebab kala itu, belum ada kejelasan status tersebut. Padahal saat menikahkan orang di luar kantor, hampir bisa dipastikan ia selalu mendapatkan amplop ataupun makanan.
“Pas itu sih kata KPK kalau barang dan uang itu masuk gratifikasi. Tapi kalau makanan tidak,” tuturnya.
Setelah itu secara resmi terbit putusan dari KPK pada 25 juli 2013. Samanto dan kawan-kawan pun mulai bisa bernapas lega. Tak hanya itu saja, pada November 2013 inisiatif Samanto bersama dengan dua rekannya diganjar Piagam Pengendalian Gratifikasi (PPG) Award dari Kemenag RI. Tapi berapa sebenarnya jumlah total gratifikasi yang ia laporkan pertama kali? “Hanya sekitar Rp500 ribu dari sekian banyak pemberian,” ucap Samanto.
Sambil sesekali membenahi lengan baju koko putih yang ia kenakan, Samanto mengaku sebenarnya pemberian yang ia terima dari para manten tersebut tidak banyak. Biasanya berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp150 ribu saja. Jumlah ratusan ribu itu pun sangat jarang ia dapatkan.
Selebihnya orang yang punya hajat besar itu biasanya memberi nasi ataupun roti. Sebab kala itu, biaya nikah di kantor KUA masih sebesar Rp30 ribu. Sehingga mereka pun memberi uang dalam jumlah yang tak jauh-jauh dari biaya nikah tersebut.
Nah, baru saat keluar PP Nomor 48/2014 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 47/2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada departemen agama besaran biaya nikah pun menjadi jelas. Bagi pasangan yang menikah di kantor KUA tidak dibebankan biaya sepeser pun, sedangkan yang di luar KUA wajib membayar Rp600 ribu.
Biaya itu nantinya bakal masuk ke kas negara dan pencariannya menggunakan mekanisme yang diatur oleh negara. Setiap bulan, Samanto harus membuat SPJ untuk dapat mencairkan uang transport sebesar Rp100 ribu dan jasa profesi Rp175 ribu sesuai tipe KUA nya yakni tipe C yang menikahkan pasangan kurang dari 50 setiap bulannya.
Tak berhenti sampai di situ saja, inisatif pun kemudian muncul dari institusinya. Pada 2015 ditetapkan Zona Integritas KUA, artinya para petugas KUA tidak lagi menerima gratifikasi lantas melaporkannya namun sudah dalam tahap menolak pemberian tersebut.
Maka mulai tiga tahun lalu, Samanto pun pelan-pelan memahamkan masyarakat dengan menolak setiap pemberian yang ia dapatkan. Tetapi ia mengakui usahanya itu tak lantas berjalan mulus.
Masih banyak orang yang memberinya amplop usai menikahkan di luar kantor, meski sudah ditolak dengan cara apapun, mereka seringkali ngeyel. Pasalnya seringkali yang memberikan amplop tersebut kepadanya bukan yang punya hajat langsung namun dititipkan ke orang lain.
Sehingga banyak orang suruhan tersebut yang merasa hal itu merupakan amanah yang harus disampaikan, jika tidak artinya ia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Mau tidak mau, Samanto pun harus kembali putar otak. Akhirnya ia mendapatkan cara jitu untuk mengembalikan amplop tersebut.
“Buku nikah kan tidak diberikan langsung saat ijab kabul. Pengantin harus ambil ke KUA beberapa hari setelahnya. Nah saat itulah saya kembalikan amplopnya, saya bilang baik-baik kalau sekarang tidak boleh terima amplop. Kalau pengantin sih mudah, mereka malah senang kok. Lumayan to dapat uang kembali,” Samano tak henti-hentinya tertawa menceritakan kisah ini.
Jika tidak dikembalikan dengan cara seperti itu, Samanto mengaku cukup kerepotan dengan prosedur pengembalian gratifikasi kepada KPK. Ada banyak langkah yang harus ia lakukan.
Ia menjelaskan setelah dilaporkan, KPK akan membikin berita acara untuk verifikasi gratifikasi dan dikirim ke KUA. Petugas harus mengisinya dan menscan, lantas mengirimkan form aslinya melalui pos. Setelah keluar putusan, baru uang tersebut bisa ditransfer ke rekening negara, buktinya harus kembali discan dan yang asli diposkan. “Ribet. Harus bolak balik,” imbuhnya.
Samanto yang sudah menjadi penghulu sejak 2005 itu menegaskan seluruh penghulu harusnya tak tergoda untuk menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Sebab perhatian pemerintah kepada penghulu kini dianggapnya makin besar.
Ada beberapa jenis tunjangan di luar gaji pokok yang ia dapatkan seperti tunjangan uang makan, uang transport, tunjangan kinerja, jasa, profesi, dan lain-lain. Artinya, gaji yang diterima penghulu sudah cukup untuk dapat memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Kalau dipikir kurang, ya akan kurang terus to,” ucap lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Yogyakarta mengakhiri obrolan kami petang itu.