Bisnis.com, KLATEN – Masih segar dalam ingatan Surati, 49, rasa nasi yang dimakan saat masih kanak-kanak. Aroma wangi yang terus tercium kendati nasi dingin, rasa manis saat dikunyah, dan mudah ditelan.
Kenangan itu seolah tinggal cerita. Ia kini kesulitan mendapatkan beras serupa. Beras yang dikonsumsi dahulu lazim disebut beras Delanggu. Ia berulang kali memasak beras dengan label “Beras Delanggu” di kemasannya. Namun, tak pernah ada rasa seperti dahulu lagi.
“Saya enggak mengerti beras yang kini ada asalnya dari mana. Yang jelas, ada banyak cap beras dengan label beras Delanggu. Tapi, rasanya enggak seperti beras Delanggu dulu,” ujarnya, saat berbincang dengan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) di Joglo Tani Desa Polan, Kecamatan Polanharjo, Kamis (5/7/2018).
Informasi yang dihimpun JIBI, beras Delanggu, dulunya adalah beras varietas Rojolele yang ditanam di sawah-sawah di Kecamatan Delanggu dan sekitarnya termasuk Kecamatan Polanharjo. Desa Ponggok dan Desa Polan di Kecamatan Polanharjo termasuk desa penghasil Rojolele terbesar kala itu. Beras-beras itu lalu dijual ke tengkulak di daerah Delanggu. Delanggu menjadi pusat pengemasan beras sebelum diedarkan ke daerah-daerah lain.
Beberapa sumber mulai dari pemilik usaha penggilingan padi dan petani yang ditemui menyebutkan beras Delanggu bukan berarti Rojolele. Kendati, memang benar Rojolele merupakan varietas asli Klaten yang banyak ditanam di Delanggu dan Polanharjo dulu.
Beras Delanggu didefinisikan sebagai beras yang ditanam di tanah Delanggu. Berasnya selalu memiliki harga lebih tinggi dibanding beras lain karena dikenal lebih enak. Keistimewaan beras Delanggu diyakini karena ditanam di tanah dan air yang tak dimiliki daerah lain.
Seiring berjalannya waktu, beras Rojolele yang terbilang mahal, membuat petani kesulitan menjual hasil panen. Rojolele juga butuh waktu enam bulan hingga panen tiba. Belum lagi berbagai macam proses perawatan tanaman agar panen maksimal dirasa memberatkan petani.
Petani yang didominasi petani penggarap lalu beralih ke padi dengan waktu panen singkat. Lalu muncul berbagai varietas seperti IR, Memberamo, Ciherang, Mentik Wangi, Situbagendit, dan lainnya.
“Rojolele yang asli sekarang ada di mana saya enggak tahu,” terang warga Dukuh Ngledok, Desa Segaran, Kecamatan Delanggu.
Atok Susanto, Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Klaten, berujar,“Rojolele yang asli di Delanggu sudah enggak ada. Enggak ada petani menanam Rojolele. Semua yang ditanam rata-rata varietas berumur pendek.”
Keistimewaan beras Delanggu juga dirasakan oleh Supriyanto, 53, warga Dukuh Ngebong, Desa Delanggu, Delanggu. Beras Delanggu ia yang rutin konsumsi adalah varietas Mentik Wangi. Mentik Wangi bukanlah varietas asli Delanggu. Namun, begitu ditanam di Delanggu, berasnya jauh lebih enak, pulen, dan wangi, ketimbang di daerah lain.
“Anak saya yang di Karawang dan Jogja sering minta dikirim beras Delanggu. Ya saya kirim yang itu [Mentik Wangi],” ujar dia. Untuk menjamin berasnya benar-benar ditanam di tanah Delanggu, ia selalu membeli di tempat penggilingan langganannya di Desa Kepanjen, Delanggu.
Tinggal Karungnya
Beras Delanggu lantas berkembang menjadi label yang jamak diburu pembeli. Handoko, 49, pemilik toko beras di Jl. Solo-Jogja, Delanggu, mengatakan beras Delanggu yang ia jual adalah varietas Mentik Wangi, Rojolele, dan C4. Harganya beras C4 berkisar antara Rp9.000 – Rp9.600 per Kilogram (Kg) dan yang paling mahal Rojolele Rp14.000 per Kg.
“Saya ambilnya beras-beras lokal. Walau ada juga yang diambil dari luar Klaten seperti Rojolele berasal dari Pengging, Boyolali,” ujarnya saat ditemui JIBI di tokonya. Dalam sebulan, ia biasanya menghabiskan satu ton beras Rojolele.
Beras Delanggu menjadi nama yang sering ditanyakan pembeli. Ia mengatakan saat petani Delanggu atau Klaten pada umumnya gagal panen, pedagang mendatangkan beras dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, dan daerah lainnya. Pedagang lantas menjualnya dengan label yang sama, beras Delanggu.
“Kalau enggak disebut beras Delanggu enggak laku. Beras dari Karanganyar misalnya ditulis beras Karanganyar ya pembeli enggak mau,” ujar dia.
Hal itu dibenarkan oleh pemilik usaha penggilingan gabah asal Dukuh Gentan, Desa Kepanjen, Delanggu, Aji, 39. Selama berbisnis beras, ia tak menjumpai beras seterkenal beras Delanggu.
Pelanggan-pelanggannya mengungkapkan beras Delanggu dikenal pulen, putih, dan lebih manis. Seorang pelanggannya dari Jakarta selalu membeli beras Delanggu saat mudik. Di Jakarta, beras itu ia bagi-bagikan kepada tetangganya.
Beras Delanggu dilirik banyak pedagang beras dari berbagai kota. Bahkan, saat panen, sejumlah pedagang beras dari Demak, Purwodadi, Sragen, dan lainnya kerap ke Klaten memburu beras Delanggu. Seorang pelanggannya dari Demak pernah bercerita kepadanya enggan membeli beras Delanggu di daerahnya kendati harganya lebih murah. Ia mengaku tahu bagaimana proses pembikinan beras itu.
"Aku tahu cara bikinnya. Dioplos. Makanya di sana lebih murah. Atau ada juga Beras Sragen, ditanam di Sragen, diolah di Sragen, tapi dilabeli beras Delanggu,” kata dia, meniru jawaban pelanggannya.
Ia menceritakan pernah mengirim beras ke Pasar Induk Cipinang, Jakarta. Di sana, beras miliknya satu truk dicampur dengan dua truk beras asal Jawa Barat. Hasilnya, beras dijual dengan label beras Delanggu.
“Di Cawas, misalnya, produksi beras tinggi. Namun, tak pernah ditemui beras Cawas. Pengolahannya di Delanggu lalu dikirim ke Pasar Induk Cipinang. Berasnya dari Sukoharjo. Jadi kalau beras Delanggu tinggal karungnya, masuk akal.”
Aji mengaku beras yang diolahnya di tempatnya kebanyakan beras lokal. Jika terpaksa harus membeli dari luar Klaten, harus diadakan sederet seleksi ketat.
Ia mengamati bulir, tekstur, dan rasa nasi hasil olahannya. Saat Klaten gagal panen akibat serangan wereng dan tikus beberapa tahun lalu, ia membeli beras hingga Blitar, Jawa Timur.
Daerah itu memiliki jenis tanah dan air di sana mirip dengan Klaten. Ia meminta sampel untuk dimasak sebagai bagian dari uji produk. “Emang mirip berasnya. Pelanggan enggak ada yang komplain,” kata dia.
Di lain tempo, Aji pernah membeli beras dari pinggiran Wonogiri. Dari sederet uji yang dilakukannya, ia meyakini beras itu mirip dengan beras Delanggu. Beras lantas dikirim ke pelangganya di Jogja. Ternyata, pelanggannya mengembalikan beras itu karena dirasa berbeda dengan beras biasanya.
“Ada juga juga pelanggan yang hafal bagaimana karakter beras Delanggu. Saya beli beras dari luar Klaten, tapi ada teknik untuk memastikan kualitasnya sama dengan beras Delanggu,” beber Aji.