Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengembangan 3 Prioritas, Industri Manufaktur Butuh Dukungan

Bank Indonesia menilai salah satu strategi untuk memperkuat neraca perdagangan Indonesia adalah pengembangan industri manufaktur, yang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) berdaya saing tinggi. 
Pekerja merakit mesin mobil Esemka di pabrik PT Solo Manufaktur Kreasi, di Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (6/9/2019)./JIBI/Bisnis-Chamdan Purwoko
Pekerja merakit mesin mobil Esemka di pabrik PT Solo Manufaktur Kreasi, di Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (6/9/2019)./JIBI/Bisnis-Chamdan Purwoko

Bisnis.com, YOGYAKARTA — Bank Indonesia menilai  salah satu strategi untuk memperkuat neraca perdagangan Indonesia adalah pengembangan industri manufaktur, yang didukung oleh sumber daya manusia (SDM) berdaya saing tinggi. 

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta Hilman Tisnawan mengatakan bahwa industri manufaktur yang menjadi prioritas adalah industri otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT), serta alas kaki.

“Ketiga industri manufaktur tersebut menjadi fokus utama karena bernilai tambah tinggi dan sudah masuk dalam global value chain. Selain itu industri manufaktur dapat menjadi quick win yang dapat mendorong ekspor, sehingga diharapkan dapat berdampak pada penurunan current account deficit (CAD),” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (25/10/2019).

Strategi tersebut, menurut Hilman, merupakan hasil kesepakatan yang dicapai dalam forum Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia (Rakorpusda) yang digelar pada 4 September 2019 yang lalu. 

Hilman menambahkan, dalam pengembangan industri manufaktur, salah satu tantangan yang dihadapi adalah SDM yang kurang produktif. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing industri manufaktur menjadi rendah dan banyaknya pengangguran terdidik. 

Bila dipetakan secara makro, penyebab mismatch antara kebutuhan SDM dan ketersediaan tenaga kerja berkualitas tersebut disebabkan oleh tiga masalah utama, yaitu: skill, kurangnya tenaga kerja terampil.

“Pada industri padat karya seperti alas kaki dan TPT kesulitan untuk mencari tenaga kerja terampil, sehingga banyak pekerja yang under qualified. Sementara itu pada industri high tech seperti otomotif memerlukan skill yang tinggi, sehingga perlu investasi pendidikan yang lebih tinggi,” katanya.

Penyebab kedua adalah knowledge, yakni gap antara pengetahuan dan inovasi. perkembangan yang terjadi pada industri jauh lebih cepat dibandingkan dengan materi pendidikan yang diajarkan di kelas. Hal ini menyebabkan celah antara pengetahuan antara industri dan akademisi kian melebar. Dari sisi riset, belum banyak sinergi antara dunia akademik dengan pelaku usaha.

Dampaknya inovasi yang dihasilkan melalui riset terapan menjadi rendah. Sementara itu, di sisi pendanaan riset, hanya 18,8% dari toral dana riset yang dapat digunakan untuk riset terapan.

Penyebab ketiga adalah behavior, yakni kurangnya daya saing tenaga kerja. Dibandingkan dengan negara peer group, biaya tenaga kerja di Indonesia cenderung lebih mahal dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah.

Dibandingkan dengan Vietnam, tingkat upah di Indonesia secara umum lebih tinggi 40%. Selain itu ketentuan lembur dan pemutusan hubungan kerja juga lebih mahal. Bila dibandingkan dengan Thailand, kenaikan tingkat upah Indonesia per tahunnya 2 kali lebih tinggi. Di sisi lain, jumlah jam kerja tenaga kerja di Indonesia adalah sebanyak 40 jam per minggu, lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang menetapkan jam kerja sebanyak 48 jam per minggu.

Menurut Hilman, upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut tidak bisa dilakukan secara instan. Perlu penguatan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan produktivitas dari sumber daya manusia industri manufaktur.

Sebagai quick win, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja tersebut. Pertama untuk meningkatkan skill tenaga kerja, perlu terus dilakukan skilling, reskilling, dan up skilling. Kedua, implementasi dari super tax deduction perlu untuk terus dikawal, agar industri terus meningkatkan investasi sumber daya manusia.

Ketiga, standarisasi dan sertifikasi keahlian menjadi penting. Peran balai pelatihan kerja perlu terus direvitalisasi dan disinergikan dengan asosiasi, sehingga kebutuhan tenaga kerja dengan skill tertentu dapat cepat terpenuhi. Keempat, diperlukan peningkatan sinergi antar pelaku usaha dan dunia akademis dalam R&D dan inovasi.

“Pemerintah dapat menjadi fasilitator untuk mengembangkan riset terpadu yang dapat digunakan secara bersama-sama, sehingga menciptakan efisiensi dalam R&D,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper