Bisnis.com, SEMARANG - Edy Suandi Hamid, Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, menyebut wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) bakal memberikan sejumlah dampak negatif.
"Penundaan Pemilu justru mengganggu stabilitas ekonomi dan politik. Itu berimbas pada Rate of Economic Growth. Akan berdampak pada kesempatan kerja, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan," jelas Edy, Kamis (17/3/2022).
Menurut Edy, faktor ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda Pemilu. Pasalnya, Indonesia tetap bisa menggelar Pemilu pada 1999 dan 2009 padahal di saat yang sama terjadi krisis di tahun 1998 dan 2008.
"Ekonomi kita sudah mulai bangkit. Pada waktu 2020, awal Covid-19, pertumbuhan ekonomi kita negatif. Kita mengalami kontraksi, tetapi sekarang kita sudah positif," jelas Edy dalam webinar yang digelar secara virtual.
Edy menambahkan, pada 2020, pemerintah terbukti berhasil menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah kondisi pandemi. Oleh karenanya, Rektor UWM tersebut menyebut beban Pemilu sebetulnya tidak menjadi masalah. "Soal biaya Pemilu yang besar, ya, bisa kita kendalikan," tambahnya.
Tak hanya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan politik, Edy mengungkapkan bahwa wacana penundaan Pemilu juga bakal mengingkari semangat demokrasi dan reformasi. Selain itu, dikhawatirkan, perubahan konstitusi untuk menunda Pemilu bakal menimbulkan dampak negatif bagi penegakan hukum di Tanah Air.
"Kalau begitu mudah, [karena] alasan ekonomi, politik, nanti setiap pimpinan itu akan melakukan amandemen di akhir kekuasaannya. Akibatnya apa? konstitusi itu menjadi tidak bermakna," jelas Edy,
Penolakan wacana penundaan Pemilu juga datang dari berbagai kalangan. Selain kelompok akademisi, sejumlah partai politik di Jawa Tengah juga sempat menyuarakan penolakan.
Ahmadi, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Provinsi Jawa Tengah, menyebut wacana penundaan tersebut telah mencederai semangat demokrasi dan kompetisi politik.
"Sebetulnya, sebagai pelaku politik, wacana ini bukan hal yang baru. Sudah lama kami dengar itu. Tetapi ini kan disampaikan oleh beliau-beliau yang sudah menyiapkan diri untuk berkompetisi, maka jadi pertanyaan kalau mereka mewacanakan penundaan. Apakah ini bagian dari strategi atau deklarasi pengibaran bendera putih, kami tidak tahu," jelas Ahmadi saat ditemui Bisnis.
"Penundaan Pemilu justru mengganggu stabilitas ekonomi dan politik. Itu berimbas pada Rate of Economic Growth. Akan berdampak pada kesempatan kerja, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan," jelas Edy, Kamis (17/3/2022).
Menurut Edy, faktor ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda Pemilu. Pasalnya, Indonesia tetap bisa menggelar Pemilu pada 1999 dan 2009 padahal di saat yang sama terjadi krisis di tahun 1998 dan 2008.
"Ekonomi kita sudah mulai bangkit. Pada waktu 2020, awal Covid-19, pertumbuhan ekonomi kita negatif. Kita mengalami kontraksi, tetapi sekarang kita sudah positif," jelas Edy dalam webinar yang digelar secara virtual.
Edy menambahkan, pada 2020, pemerintah terbukti berhasil menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah kondisi pandemi. Oleh karenanya, Rektor UWM tersebut menyebut beban Pemilu sebetulnya tidak menjadi masalah. "Soal biaya Pemilu yang besar, ya, bisa kita kendalikan," tambahnya.
Tak hanya berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan politik, Edy mengungkapkan bahwa wacana penundaan Pemilu juga bakal mengingkari semangat demokrasi dan reformasi. Selain itu, dikhawatirkan, perubahan konstitusi untuk menunda Pemilu bakal menimbulkan dampak negatif bagi penegakan hukum di Tanah Air.
"Kalau begitu mudah, [karena] alasan ekonomi, politik, nanti setiap pimpinan itu akan melakukan amandemen di akhir kekuasaannya. Akibatnya apa? konstitusi itu menjadi tidak bermakna," jelas Edy,
Penolakan wacana penundaan Pemilu juga datang dari berbagai kalangan. Selain kelompok akademisi, sejumlah partai politik di Jawa Tengah juga sempat menyuarakan penolakan.
Ahmadi, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Provinsi Jawa Tengah, menyebut wacana penundaan tersebut telah mencederai semangat demokrasi dan kompetisi politik.
"Sebetulnya, sebagai pelaku politik, wacana ini bukan hal yang baru. Sudah lama kami dengar itu. Tetapi ini kan disampaikan oleh beliau-beliau yang sudah menyiapkan diri untuk berkompetisi, maka jadi pertanyaan kalau mereka mewacanakan penundaan. Apakah ini bagian dari strategi atau deklarasi pengibaran bendera putih, kami tidak tahu," jelas Ahmadi saat ditemui Bisnis.