Bisnis.com, KLATEN—Malam satu Sura hingga sepekan ke depan menjadi puncak kunjungan peziarah dari berbagai wilayah ke Dukuh Sepi, Desa Barepan, Cawas. Di sebuah petilasan Sunan Kalijaga, warga mengantre bergantian untuk mendoakan salah satu tokoh Wali Songo.
Di dekat sebuah batu bertabur bunga diterangi lampu teplok berbahan bakar minyak tanah, setiap pengunjung terlihat duduk dengan tangan menengadah. Sebagian lain hanya melihat-lihat lalu menuju pintu keluar.
“Mereka ke sini mendoakan Sunan Kalijaga bukan untuk meminta berkah,” ujar Warno Sudarso, 74, juru kunci petilasan, saat ditemui wartawan di dekat petilasan, Rabu (20/9/2017) malam.
Batu itu diyakini sebagai alas Sunan Kalijaga saat menunaikan salat subuh di tengah kali. Di batu itu telihat beberapa cekungan terbentuk akibat gerakan sujud seperti bagian kepala, telapak tangan, hingga bekas telapak kaki. Sebuah lubang tak jauh dari batu disebut-sebut sebagai bekas tongkat sunan yang ditancapkan.
“Di dekatnya ada sebuah tapak kaki. Itu adalah kaki kiri Sunan Kalijaga saat meninggalkan batu seusai salat,” imbuh pria warga RT 016/RW 008, Dukuh Sepi, Desa Barepan, Cawas.
Kisah petilasan itu bermula ketika Sunan Kalijaga diperintah Sunan Bonang menyebarkan syiar Islam di Jawa. Tiba di Cawas, ia bertemu seseorang yang sedang ngangsu (mengambil air). Saat itu warga setempat tengah mengalami kesulitan air. Sunan lalu meminta air kepada dia.
“Enak sekali meminta? Saya juga mencarinya jauh,” ujar Warno, menirukan balasan penduduk itu kepada Sunan. Ia memperkirakan warga harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk mendapatkan air.
Mendengar jawaban itu Sunan lalu berjalan ke bukit tak jauh dari Cawas. Ia tancapkan sebuah ranting pohon ke bukit lalu menggelar salat Isya. Seusai salat, ia cabut ranting itu lalu keluarlah air. Air itu mengakhiri kekeringan yang terjadi saat itu.
Ia lalu berjalan ke Kauman menemui temannya Kiyai Khatib Banyu Meneng, ulama Kauman Cawas kali pertama. Kemudian, melanjutkan perjalanan ke timur. Hingga pada suatu ketika, ia menengok ke kanan dan melihat sebuah sungai.
Ia memutuskan turun ke sungai untuk salat subuh. Batu tempat Sunan Kalijaga menunaikan salat itulah yang diyakini menjadi petilasaan saat ini. “Sunan waktu itu berkata tempat ini sangat sepi bahkan suara serangga pun tak terdengar alias sepi nyenyet. Lalu dukuh ini dinamai Dukuh Sepi,” terang juru kunci dari generasi keempat penjaga petilasan.
Agus Purwono, 43, Ketua RW 008, Dukuh Sepi, Barepan, Cawas, mengatakan khusus malam satu Sura, warga dukuh membikin makanan khas leganda. Makanan itu berupa adonan ketan dicampur parutan kelapa dan dibungkus menggunakan janur. “Semua warga di sini bikin leganda untuk menjamu tamu yang datang,” ujar dia.
Camat Cawas, Much. Nasir, mengatakan petilasan Sunan Kalijaga menjadi potensi desa yang semestinya ada pembinaan dari dinas terkait. Agenda malam satu Sura di Dukuh Sepi bisa dikemas menjadi lebih menarik seperti mengadopsi perayaan festival apem di Jatinom.
“Misalnya di sini dibuat kirab leganda. Selain untuk menarik kunjungan, upaya ini seklaigus menjadi cara ngurip-uripi kebudayaan,” tutur dia.
Pengemasan kegiatan itu perlu untuk menambah rasa handarbeni (rasa memiliki) warga terhadap kekayaan potensi daerah. Petilasan Sunan Kalijaga bisa menjadi ikon desa guna menunjang pengembangan pariwisata.
“Rencana pengembangan ini sudah sampaikan kepada bupati dan dinas terkait. Semoga lekas ada tindak lanjut,” harap Nasir.