Bisnis.com, YOGYAKARTA – Dampak kenaikan harga Pertamax di wilayah DIY dan Jawa Tengah dari Rp8.900 menjadi Rp9.500 pada awal Juli ini tak begitu terasa di lapangan. Konsumsi masyarakat akan harga bahan bakar khusus (BBK) ini tercatat masih stabil.
Ketua Hiswana Migas DIY, Siswanto mengakui dampak kenaikan harga Pertamax tak begitu terasa di lapangan. Hal itu terlihat dari jumlah konsumsi harian bahan bakar Pertamax di SPBU yang tak berubah. Ia menyebut jumlah konsumsi stagnan.
Jika pun ada penurunan tidak mencapai angka 1% sejak kebijakan tersebut diterapkan pada 1 Juli lalu. Artinya kenaikan harga ini, tak lantas membuat konsumen Pertamax beralih ke jenis bahan bakar lain seperti Pertalite yang harganya lebih murah.
"Misalnya SPBU yang kebutuhan konsumsi hariannya tiga ton Pertamax, sekarang tetap segitu. Saya lihat seluruh SPBU yang totalnya berjumlah 106 begitu, stagnan konsumsinya," katanya kepada Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), Senin (9/7/2018).
Siswanto menuturkan hal itu disebabkan karena segmen konsumen Pertamax yang menyasar masyarakat kelas menengah ke atas. Konsumen BBK ini merupakan masyarakat yang secara finansial sudah stabil. Sehingga kenaikan harga Pertamax dianggap tak begitu mempengaruhi keuangan mereka. Maka dengan adanya kenaikan harga ini, mereka tak lantas beralih mengonsumsi bahan bakar jenis lain untuk kendaraannya.
Apalagi Siswanto menganggap dengan tingkat kemampuan finansial konsumen Pertamax, mereka lebih mengutamakan kualitas dibandingkan harga. Mereka memilih bahan bakar yang pengaruhnya lebih baik kepada mesin kendaraan mereka meskipun harganya lebih mahal.