Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ijazah Milik Ribuan Pelajar di Yogyakarta Ditahan Sekolah, Diduga Terkait Pungli

Ijazah milik ribuan pelajar di Yogyakarta ditahan pihak sekolah. Alasannya diduga terkait tunggakan pungutan liar yang belum dibayar.
Para pelajar di SMKN 15 Jakarta mengikuti belajar tatap muka perdana di tengah pandemi Covid-19, Rabu (7/4/2021)./Antara
Para pelajar di SMKN 15 Jakarta mengikuti belajar tatap muka perdana di tengah pandemi Covid-19, Rabu (7/4/2021)./Antara

Bisnis.com, YOGYAKARTA - Ribuan pelajar di Yogyakarta diduga menjadi korban pungutan liar (pungli) dari pihak sekolah.

Imbasnya, ribuan pelajar yang berasal dari berbagai jenjang pendidikan seperti SMP, SMA, hingga SMK kesulitan mendapatkan ijazah karena ditahan sekolah.

Salah seorang wali murid, Robani, mengatakan pungli berkedok sumbangan itu diberitahukan kepada wali murid saat pertama kali masuk sekolah.

Wali dan orang tua murid diberitahu soal kebijakan sumbangan peningkatan pendidikan yang waktu dan nilainya telah ditentukan oleh pihak sekolah.

Perincian sumbangan itu terdiri dari berbagai macam seperti sumbangan peningkatan pendidikan, seragam sekolah, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), dan lain-lain.

“Dalam sosialisasi pertama itu, sekolah mengemukakan soal RAPBS [Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah] habisnya sekian, kekurangannya sekian. Kemudian, kekurangan itu dibagi sejumlah murid dan ketemu sekian juta per murid dan ditambah lagi SPP. Padahal sejak 2017 SPP telah dihapus,” ujar Robani di LBH Jogja, Selasa (9/11/2021).

Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY), Yuliani Putri Sunardi, mengatakan penarikan sumbangan seperti pungli praktik sumbangan berkedok pungli seakan tak bisa diberantas habis di wilayah DIY. Selalu saja ada kasus baru yang muncul ke permukaan meski instansi terkait telah melarang.

Pada beberapa kasus, murid yang tidak mampu membayar berimbas pada penahanan ijazah. Hal ini mengakibatkan keberlanjutan jenjang pendidikan murid terganggu, apalagi di jenjang SMK.

Dia mengklaim bahwa fenomena ini justru terjadi di sekolah negeri dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.

“Misalnya ada sekolah yang bilang bahwa sumbangan akan digunakan buat pembangunan gapura, pembayaran GTT (guru tidak tetap) dan PTT (pegawai tidak tetap). Apalagi ijazah, itu kalau ditagih bilangnya kalau berkas belum dicap tiga jari. Padahal murid sendiri mengaku tidak diberi akses untuk cap tiga jari kalau uang sumbangan belum lunas. Kalau bahasanya sumbangan tentu tidak ditentukan. Ini sumbangan rasa pungli jadinya,” kata Yuliani.

Ia menyatakan, per 1 November kemarin ada sebanyak 1.080 murid SMK di Kota Jogja yang belum menerima ijazah. Dan total ada sebanyak 1.139 murid SMA dan SMK khsusus di Kota Jogja yang tertahan ijazahnya akibat praktik tersebut. Jumlah ini belum digabung dengan ijazah murid lain yang juga tertahan di sejumlah SMP, SMA, maupun SMK di kabupaten lainnya di wilayah Yogyakarta.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Didik Wardaya, menyebut pihaknya tengah berupaya agar ijazah yang tertahan baik di sekolah swasta maupun negeri diselesaikan.

Menurut Didik, fenomena penahanan ijazah oleh sekolah di Jogja ini disebabkan murid terlanjur bekerja dan tak kunjung melakukan pengambilan. Hal itu pun membuat sekolah kesulitan mengatasi persoalan itu.

Sementara itu, pada sekolah swasta di Jogja, penahanan ijazah siswa dilakukan karena murid belum menyelesaikan pelunasan biaya. Hal itu, menurutnya lumrah sebab sekolah swasta memang beroperasi dari uang pendidikan para murid.

“Datanya yang belum ambil [ijazah] itu juga sudah berkurang. Kalau swasta kan kita ada anggaran beasiswa untuk kelangsungan pendidikan dan itu kita sudah bebaskan 401 ijazah, swasta itu kan karena ada kewajiban orang tua ke sekolah karena sekolah itu hidupnya termasuk dari siswa sendiri,” kata Didik.

Ia mengimbau kepada orang tua dan wali murid yang masih menemukan praktik penahanan ijazah yang berkaitan dengan sumbangan agar segera mengadu ke pihaknya.

Sebab, penahanan ijazah jelas telah dilarang. Apalagi berkaitan dengan sumbangan yang ditentukan nilai serta masa pembayarannya.

Didik menyebut, bahwa kadang fenomena itu terjadi karena terpaksa. Pasalnya, ada sekolah yang biasanya minus pembiayaan antara pengeluaran dan penerimaan dalam RAPBS.

“Istilahnya terjebak lah. Ketika ada selisih dan itu gampangnya di rapat dibagi per siswa. Kita sudah minta kalau masyarakat miskin tidak boleh dimintai sumbangan atau tidak perlu memberikan kalau ada permintaan sumbangan dari sekolah. Mereka berhak menolak karena alasan tidak mampu, kan namanya sumbangan,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Solopos.com

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper