Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI JATENG: Was-was Cukai Minuman Berpemanis

Wacana cukai minuman berpemanis atau Minuman Bergula Dalam Kemasan (MBDK) diperkirakan bakal berdampak besar bagi kelangsungan sejumlah pelaku usaha di Jawa Tengah.
Industri minuman ringan memang sejalan dengan kegiatan horeka. /Asrim
Industri minuman ringan memang sejalan dengan kegiatan horeka. /Asrim

Bisnis.com, SURAKARTA – Atma Parindra, pengusaha muda asal Purwodadi, bersyukur bisa mulai berjualan di penghujung tahun 2021. Pasalnya, hampir dua tahun terakhir ini usaha warung kopi berbasis food-truck yang dijalankannya mandek. Bahkan, satu unit food-truck di Jepara juga satu kafe yang dijalankannya di Yogyakarta ikut digulung pandemi.

Usaha milik Atma, bernama choice.foodtruck, kini dijalankan dengan cara bergerilya di wilayah Solo Raya. Meskipun berbasis di Purwodadi, Atma tak banyak berharap dari konsumen di kampung halamannya. Sebab, keuntungan yang diraih dari gelaran acara musik, pameran, atau festival sekolah dan kampus jauh lebih menjanjikan.

Sayangnya, meskipun tengah mendapat angin segar di tengah pelonggaran kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Atma masih menyimpan kekhawatiran tersendiri. Pasalnya, wacana cukai minuman berpemanis atau Minuman Bergula Dalam Kemasan (MBDK) diperkirakan bakal berdampak besar bagi kelangsungan usaha yang dijalankannya di masa mendatang.

“Selama satu setengah tahun ini, omzet kami turun sekitar 70-80 persen kira-kira. Tiga bulan terakhir ini baru mulai naik. Tapi dengan adanya wacana cukai, kami jadi mulai cemas,” ucap Atma ketika ditemui Bisnis dalam sebuah gelaran di Surakarta.

INDUSTRI JATENG: Was-was Cukai Minuman Berpemanis

(Atma Parindra, pengusaha muda saat ditemui di Solo beberapa waktu lalu./M. Faisal Nur Ikhsan).

Meskipun Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyebut bahwa pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tidak akan dikenakan cukai, namun Atma mengkhawatirkan bahwa kebijakan tersebut bakal mempengaruhi pendapatan usahanya secara tidak langsung.

“Akan ngaruh banyak ke UMKM karena kita selalu belanja bahan baku kemasan. Utamanya susu kental manis dan susu UHT, gula sih kita gak terlalu banyak ya. Tetapi pasti akan berdampak banget buat UMKM. Untuk Susu Kental Manis saja paling gak kita bisa habis 4 kaleng seharinya. Sirup per liter itu bisa untuk semingguan. Itu kita per porsi bisa menggunakan sekitar 20 mili,” ucap Atma.

Ketakutan Atma terus berlanjut mengingat bukan tidak mungkin di masa mendatang pemerintah bakal memperluas cakupan barang kena cukai minuman berpemanis. Meskipun saat ini pemerintah memastikan bahwa kebijakan cukai teranyar tersebut hanya menyasar industri minuman pabrikan, namun ketakutan tersebut tetap menghantui pikiran pelaku UMKM seperti Atma.

“Cepat atau lambat, ditakutkan kebijakan ini akan diperluas. Sebagai pelaku UMKM kita inginnya pemerintah bisa mencermati kembali wacana cukai ini. Boleh lah dinaikkan, asalkan daya beli masyarakat bisa dijaga. Kalau tidak, UMKM ini akan kalah dengan ritel. Ibaratnya, usaha ritel yang sudah punya konsumen tetap itu bisa menyiasati cukai dengan mengurangi pekerja atau menaikkan harga. Sementara kita, sama sekali tidak ada opsi seperti itu,” jelas Atma.

Sebelumnya, Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) memperkirakan cukai minuman berpemanis sebesar Rp1.500-2.500 per liter bakal memicu kenaikan harga di tingkat konsumen hingga 10 persen lebih. Diperkirakan, kenaikan harga per produk bisa mencapai Rp500-Rp3.000.

Industri makanan minuman di Jawa Tengah, utamanya yang terdampak cukai MBDK, diperkirakan bakal ikut terpukul. Padahal, di masa pandemi, sektor industri tersebut berperan penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Frans Kongi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, menyebut bahwa wacana cukai MBDK bisa menjadi batu sandungan bagi pemulihan kinerja sektor industri di wilayah tersebut.

“Industri di Jawa Tengah ini baru mau mulai bangkit. Baru ancang-ancang untuk lari. Janganlah dihalangi dengan wacana kenaikan cukai, penerapan cukai baru, apalagi pajak. Itu sangat ditakutkan dunia usaha,” jelas Frans.

Frans menambahkan bahwa selama pandemi Covid-19, kinerja positif pada sektor makanan dan minuman di Jawa Tengah telah mampu menolong kinerja industri secara kumulatif. Pasalnya, sektor industri garmen dan tekstil yang menjadi sektor unggulan sempat mengalami kontraksi yang cukup signifikan. Oleh karena itu, menurut Frans, wacana cukai MBDK kurang tepat untuk direalisasikan dalam waktu dekat.

“Kita mengimbau pemerintah untuk tidak menerapkan cukai selama enam bulan atau satu tahun ke depan. Justru, sebaiknya pemerintah membantu kita para pelaku industri. Kalau ada cukai baru, harga pasti akan naik, konsumen belum tentu mau menanggung. Covid-19 sendiri kan di di luar negeri masih banyak terjadi. Kurang bijak lah kalau cukai itu dikenakan dalam waktu dekat,” jelas Frans.

Lain pengusaha, lain pula pendapat akademisi terkait cukai MBDK. Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM), berharap banyak pada kebijakan fiskal tersebut. Pasalnya, Indonesia merupakan konsumen minuman berpemanis tertinggi ke-3 di Asia Tenggara.

Setidaknya, setiap orang di Indonesia mengonsumsi 20,23 liter minuman berpemanis setiap tahunnya. Angka tersebut berkontribusi pada angka kematian dan sakit akibat kelebihan berat badan, obesitas, serta penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.

Relmbuss Fanda, peneliti PKMK UGM, menyebut bahwa penerapan cukai MBDK bisa memberikan manfaat kesehatan yang positif sembari ikut menekan biaya perawatan kesehatan akibat penyakit tersebut. “Biaya perawatan kesehatan bahkan bisa lebih dihemat lebih dari 24 kali lipat dari biaya pelaksanaan pajak minuman manis,” ucapnya seperti dikutip dari laman ugm.ac.id.

Kepala Dinas Perdagangan dan Industri (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah, Arif Sambodo, menyebut bahwa penerapan cukai memang merupakan upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi masyarakat. Tak hanya konsumsi MBDK, tetapi juga rokok, alkohol, serta barang kena cukai lainnya. Meskipun demikian, ketika ditanya lebih lanjut soal wacana cukai MBDK, Arif tak bisa memberikan banyak komentar.

“Saya belum bisa komentar untuk ini. Karena saya belum tahu persis aturannya. Kalau ditanya efeknya, mungkin akan ada efek bagi industri makanan dan minuman di Jawa Tengah,” ucap Arif ketika dihubungi melalui sambungan telepon.

Di Jawa Tengah sendiri, penerapan cukai MBDK sendiri nampaknya masih menjadi dilema tersendiri. Pasalnya, di wilayah tersebut, industri makanan dan minuman memberikan banyak kontribusi positif bagi perekonomian di daerah.

“Industri makanan dan minuman memang menopang pertumbuhan ekonomi kita. Itu jadi nomor satu di struktur industri kita. Hampir 33 persen sendiri kontribusinya. Secara skala usaha, sepertinya lebih banyak yang [skala] menengah dan kecil. Untuk serapan tenaga kerjanya juga cukup bagus,” jelas Arif.

Persoalan jadi tambah pelik tatkala kebijakan cukai MBDK tersebut juga dikhawatirkan bakal memaksa perubahan gaya hidup serta preferensi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun bahkan turun temurun. Arie Sujito, Sosiolog UGM, menyebut bahwa kebijakan fiskal tersebut bakal kian berat untuk diimplementasikan karena masyarakat Indonesia telah mengonsumsi minuman berpemanis atau gula sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaannya.

Secara khusus, Arie menyoroti tradisi minum teh ‘nasgitel’ atau panas, legi (manis), kentel di masyarakat Jawa. “Itu sebetulnya adalah kultur yang membangun imajinasi masyarakat akan konsep enak,” jelasnya. Tentunya hal tersebut bakal sulit dihilangkan hanya dengan menerapkan cukai.

Arie menambahkan bahwa pemerintah mesti hati-hati betul sebelum mengambil kebijakan tersebut. Pasalnya, efek domino yang dihasilkan tak hanya berpotensi merubah pola produksi atau kondisi ekonomi masyarakat. Bahkan, secara tidak langsung, cukai MBDK juga bakal berdampak pada aspek sosial, politik, dan budaya di masyarakat.

“Mengonsumsi gula, menurut saya, adalah bagian dari tradisi kehidupan masyarakat Indonesia yang historis. Tetapi mengontrol agar tidak terjebak pada sakit gula (diabetes) itu seharusnya dengan edukasi, bukan melarang menggunakan gula,” jelas Arie.

Ketimbang mengatur pola konsumsi masyarakat dan dampak kesehatan yang ditimbulkan dari minuman berpemanis, Arie menjelaskan bahwa masih ada alternatif jalan lain yang bisa diambil pemerintah. Dalam kata lain, kebijakan cukai MBDK bukanlah solusi tunggal atas dampak kesehatan yang ditimbulkan.

 “Literasi, edukasi sosial, itu akan mampu membantu orang agar industri gula tetap jalan, tetapi tetap sehat sebagaimana misi perlindungan itu juga berjalan. Jadi kesannya negara tidak hanya terkesan mengambil keuntungan tok dengan mengeksploitasi dan memberikan efek jera melalui cukai. Bukan itu seharusnya, karena itu efeknya biasanya justru semakin besar, masyarakat juga bakal menjadi korban,” jelas Arie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper