Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramadan Jadi Cerminan Ketahanan Pangan di Jateng

Jawa Tengah yang sebagian besar kedelai dan gulanya masih mengandalkan perdagangan impor mesti berbenah.
Pekerja menjemur bawang putih jenis Lengkong di tempat pengepul bawang di Desa Dangkel, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (26/3/2022). Menurut pedagang sejak sebulan menjelang bulan Ramadhan harga bawang putih lokal naik dari Rp10.000 - Rp13.000 per kilogram menjadi Rp16.000 - Rp19.000 per kilogram di tingkat pedagang./Antara-Anis Efizudin
Pekerja menjemur bawang putih jenis Lengkong di tempat pengepul bawang di Desa Dangkel, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (26/3/2022). Menurut pedagang sejak sebulan menjelang bulan Ramadhan harga bawang putih lokal naik dari Rp10.000 - Rp13.000 per kilogram menjadi Rp16.000 - Rp19.000 per kilogram di tingkat pedagang./Antara-Anis Efizudin

Bisnis.com, SEMARANG – Kabar naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok, kelangkaan pasokan, jadi lagu lama yang selalu muncul berulang menjelang Ramadan.
 
“Itu kan kejadian yang lumrah, karena kenaikan permintaan. Kami sudah melakukan checking ke pasar, ini dilakukan terus sampai hari raya lebaran nanti,” jelas Arif Sambodo, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Jawa Tengah ketika dihubungi Bisnis pada pekan kedua Maret 2022.

Namun persoalannya jadi lebih pelik, ketika lonjakan harga tak cuma dipacu naiknya permintaan dalam negeri. Gonjang ganjing di Benua Eropa, hingga dampak pandemi yang tak kunjung reda, telah ikut mengerek kenaikan harga sejumlah komoditas di perdagangan internasional.

Dalam catatan Bisnis, kenaikan harga terjadi pada beberapa komoditas. Kedelai impor misalnya, pada Februari lalu telah menembus harga Rp13.000 per kilogram di Jawa Tengah. Dari data Chicago Board of Trade (CBOT) harga kedelai per bushels telah mencapai US$16,91 pada pekan pertama Maret 2022. Kementerian Perdagangan bahkan memperkirakan harganya bakal terus melonjak hingga US$15,78 per bushels.

Peni Rahayu, Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, menyebut kebutuhan kedelai di Jawa Tengah baru bisa terpenuhi 30 persen, dimana sisanya mesti didatangkan dari luar negeri.

“Alhamdulillah kita masih bisa mengendalikan harga kedelai, walaupun kami kurang tetapi impornya masih bisa masuk. Sehingga kemarin teman-teman di provinsi lain, pengrajin tempe dan tahu mungkin sudah mulai protes untuk mogok membuat tahu. Alhamdulillah di Jawa Tengah kita masih bisa memfasilitasi itu dan tidak ada yang mogok,” ucapnya beberapa waktu lalu.

Ramadan Jadi Cerminan Ketahanan Pangan di Jateng

Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Mampang, Jakarta, Minggu (13/3/2022). Dirut Perum Bulog Budi Waseso mengatakan pihaknya berencana akan mengimpor kedelai sebesar 2,5 juta ton untuk memenuhi kekurangan kebutuhan kedelai nasional./Antara-Rivan Awal Lingga.

Mengandalkan Impor

Namun demikian, untuk memenuhi kebutuhannya, Jawa Tengah tak cuma mengimpor kedelai dari luar negeri. Pasokan bawang putih serta gula pasir juga masih bertumpu pada pesanan impor. “Gula pasir ini juga di Jawa Tengah stabil. Walaupun itu memang dibutuhkan dengan impor karena Bulog juga masih men-supply itu,” jelas Peni.

Untuk kasus bawang putih, Peni juga menjelaskan bahwa Jawa Tengah menghadapi kendala tersendiri. Kebutuhan bawang putih tak bisa dipenuhi karena memang tidak banyak petani yang menanam komoditas tersebut. “Kondisi lahannya tidak banyak,” jelas Peni.

Melihat justifikasi impor yang disampaikan Peni, jelas terlihat bahwa persoalan terbesar yang dihadapi Jawa Tengah adalah soal kapasitas produksi pertanian. Sektor pertanian, secara umum, memang tak banyak menguntungkan.

Peni sempat menyebut bahwa 40 persen penduduk Jawa Tengah adalah petani, dimana kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi bisa dibilang cukup signifikan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan produktivitas sektor pertanian di Jawa Tengah tak cukup kuat untuk menyokong kebutuhan warganya sendiri.

Rendahnya produktivitas pertanian dapat dilihat dari kian menyusutnya luas panen di Jawa Tengah. Komoditas kedelai misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah pada 2019 dan 2020 lalu luasan panennya bisa mencapai 37.944 hektare. Namun, pada tahun 2021, luasnya menyusut hingga tersisa 28.431 hektare.

Untuk komoditas bawang putih, nasibnya memang jauh lebih baik. BPS mencatat penambahan luas panen dari 2.573 hektare di 2018 menjadi 5.137 hektare pada 2020. Namun perlu menjadi catatan, dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, hanya 13 wilayah yang memproduksi komoditas tersebut. Hampir separuh luasan panen bawang putih di Jawa Tengah bahkan berasal dari Kabupaten Temanggung.

Sumanto, Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah, menyebut ketergantungan Jawa Tengah pada pasokan impor untuk memenuhi kebutuhan pokok tak bisa dibiarkan begitu saja. Diperlukan pembenahan untuk menjaga ketahanan pangan di Jawa Tengah.

“Risikonya jelas ada, kalau kita tidak segera berbenah nanti ketergantungan pangan akan impor semakin besar. Dan negara-negara lain juga mempertahankan ketersediaan pangan untuk warganya sendiri. Maka pemerintah harus dapat menguasai sektor pangan,” jelasnya saat dihubungi Bisnis.

Ramadan Jadi Cerminan Ketahanan Pangan di Jateng

Sejumlah pekerja memproduksi gula batu di Slegrengan, Kalitengah, Wedi, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (24/3/2022). Dalam sebulan produsen gula batu tersebut dapat memproduksi sebanyak 80 ton yang dijual dengan harga Rp17.000 per kilogram dan biasanya dapat digunakan pemanis minuman wedang uwuh atau minuman lainnya./Antara-Aloysius Jarot Nugroho.

Petani Tak Berdaya

Ketahanan pangan Jawa Tengah, menurut Sumanto, mesti dimulai dengan perbaikan sektor pertanian. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kesejahteraan petani. Memang, hitung-hitungan BPS melalui indikator Nilai Tukar Pertanian (NTP) bisa memberikan gambaran.

Angkanya pada bulan Januari dan Februari lalu berada di 103,18 dan 102,83 poin, yang berarti petani masih menerima untung dari kegiatan pertanian. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, rata-rata pendapatan bersih petani di Jawa Tengah bisa dibilang hanya separuh dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) terendah di wilayah tersebut. Dari catatan BPS, rata-rata pendapatan bersih pekerja informal di sektor pertanian adalah Rp928.155.

Data yang dikantongi Sumanto bahkan jauh lebih parah lagi dari rata-rata BPS tadi. Menurutnya, petani dengan luas lahan 2.000 meter persegi di Jawa Tengah hanya menerima pendapatan di kisaran Rp600.000 – Rp.800.000 per bulan. Untuk itu, Sumanto berharap agar pemerintah dapat memberikan perhatian khusus untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

“Dimulai dengan adanya keberpihakan anggaran, jaminan usaha hulu-hilir, serta pemberdayaan yang tepat guna,” jelas Sumanto. Bahkan, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut juga memberikan saran yang boleh dibilang cukup ekstrem. “Minimal petani gurem di Jawa Tengah bisa berpenghasilan UMR,” ucapnya.

Realistis atau tidaknya saran Sumanto tersebut memang jadi persoalan lain. Namun, perhatian khusus yang diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani boleh diapresiasi. Sebab, tawaran tersebut setidaknya bisa menenangkan warga Jawa Tengah agar tak perlu lagi mengkhawatirkan stok dan harga bahan pokok di momen-momen khusus seperti Ramadan dan lebaran nanti.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper