Bisnis.com, SEMARANG - Indikator kinerja impor Jawa Tengah pada September 2022 menunjukkan penurunan nilai impor sebesar 30,15 persen secara month-to-month.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, Frans Kongi, menyebut penurunan nilai impor tersebut disebabkan oleh menurunnya aktivitas produksi manufaktur.
"Kita sudah senang habis pandemi, produksi sudah semua jalan ful di tahun 2022 ini. Tapi masalahnya, kita sedang merasakan dampak karena kondisi ekonomi yang tidak baik di beberapa negara dunia. Termasuk Eropa dan Amerika," jelas Frans dikutip, Senin (7/11/2022).
Industri manufaktur terpaksa mengerem pembelian bahan baku akibat penurunan daya beli negara-negara tujuan utama ekspor Jawa Tengah. Dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan pembelian bahan baku dan barang modal masing-masing mencapai 31,78 persen dan 14,85 persen (mtm).
Selain pelemahan daya beli, Frans menjelaskan bahwa pengusaha mengerem aktivitas impor untuk mengantisipasi penguatan dolar Amerika Serikat. Kepada Bisnis, Frans mengungkapan bahwa penggunaan mata uang lokal seperti Yuan untuk transaksi dengan China maupun Yen untuk Jepang tidak banyak membawa pengaruh. "Tetap saja terganggu dengan penguatan dolar," katanya.
Frans menyebut, penguatan dolar itu sebetulnya bisa membawa keuntungan bagi pelaku usaha di Jawa Tengah. Pasalnya, margin keuntungan yang didapatkan dari barang yang dikirim ke luar negeri bakal meningkat drastis.
"Tapi sayangnya, mereka [negara tujuan ekspor] juga belum bisa meningkatkan permintaan karena kondisi ekonominya juga kurang baik," jelas Frans melalui sambungan telepon.
Frans menambahkan, pelemahan kinerja tersebut berimbas pada penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah. Meskipun tidak terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masif, seperti yang belakangan viral, Frans menyebut sebagian pengusaha terpaksa merumahkan pekerjanya untuk sementara waktu.
"Di Jawa Tengah ini ada beberapa yang sudah merumahkan karyawan. Tapi prinsipnya, kita menghindari PHK. Kita jaga baik itu. Karena bagaimanapun juga, bisnis itu selalu naik turun. Gak ada bisnis yang meroket terus," jelas Frans.
Selain merumahkan pekerja, kelompok pengusaha juga menerapkan sistem kerja bergiliran guna menghindari gelombang PHK massal. Sebagian sektor industri manufaktur di Jawa Tengah, kata Frans, sudah menerapkan sistem tersebut. Seperti sektor industri kayu dan garmen.
Pada perkembangan lainnya, Frans optimistis industri manufaktur di Jawa Tengah bisa menghadapi tantangan pelemahan daya beli itu. Lebih lanjut, kelompok pengusaha yakin bahwa manufaktur di Jawa Tengah masih bisa mencatatkan kinerja positif di tahun-tahun mendatang.
"Dunia usaha di Jawa Tengah tetap optimis. Karena kita melihat pemerintah sudah serius menangani ekonomi. Baik dari pemerintah, Bank Indonesia, sehingga inflasi kita masih terkendali," ungkap Frans.