Bisnis.com, SEMARANG - Sejak 2017 lalu, Setyawan Adi Sucipto mulai menggandrungi tanaman aglaonema. Tanaman hias jenis daun-daunan itu jadi mainan baru bagi pria yang akrab disapa 'Mbah Yok' itu. "Benar-benar ketertarikan sendiri, tapi memang saya sudah lama main di tanaman hias sebelumnya," jelasnya, dikutip Rabu (11/01/2023).
Kepada Bisnis, Yok menceritakan bahwa mulanya dia lebih tertarik pada tanaman bonsai. Namun, pesona warna dan bentuk daun dari aglaonema mulai membuatnya penasaran. Rasa penasaran kemudian membuatnya makin jatuh hati, terlebih ketika Yok mulai akrab dengan berbagai jenis identifikasi tanaman aglaonema.
"Untuk pembudidayaan aglaonema itu memang lebih cepat dibanding tanaman hias lain. Tapi tidak bisa dibilang mudah juga, karena aglaonema itu rentan sebenarnya. Dia gampang terkena penyakit, bakteri, dibanding tanaman lainnya. Efeknya itu pembusukan di akar, maka kita juga harus paham kondisi media tanamnya juga," jelas Yok saat ditemui di kebun miliknya yang berlokasi di Salatiga.
Dari puluhan batang aglaonema, Yok mulai melengkapi koleksinya. Yok juga mulai percaya diri buat mengikuti berbagai kompetisi aglaonema yang digelar komunitas-komunitas di Salatiga dan sekitarnya. Dari situ, Yok mengantongi ilmu baru.
"Orang bilang, setiap kontes itu ada pemijatan. Karena tangkai daun aglaonema itu pasti bengkok, makanya kita tata. Kita luruskan. Simetrisnya antar satu daun itu sangat berpengaruh pada penilaian, makanya harus ditata," jelas Yok.
Selain simetrinya daun, aglaonema juga dinilai dari kelangkaan jenis yang dikonteskan. Namun, Yok menyebut aspek kesehatan tanaman jadi salah satu yang paling berpengaruh dalam kontes. "Kita menampilkan tanaman di kontes itu kan berarti menampilkan barang yang paling bagus di kandang kita sendiri. Tapi tetap dengan penataan tangan itu tadi. Jadi tidak asal keluar kandang," jelasnya.
Dari kontes tersebut, Yok bisa mengantongi keuntungan tambahan. Aglaonema yang dijadikan bahan kontes, biasanya dibeli dengan harga ratusan ribu. Setelah ditata, juga dipijiti, harga aglaonema itu bisa meroket hingga jutaan rupiah. Asalkan belum masuk kontes.
"Itu harganya bisa naik 3-4 kali lipat. Karena masih bisa diadu. Tapi kalau sudah juara, orang memang kadang mau beli. Tetapi, biasanya aglaonemanya itu stress, jadi tinggal bagaimana perawatan kita. Saya pernah coba barang harga Rp100.000, saya tawarkan Rp600.000 karena bisa diadu di kontes," kata Yok.
Kini, Yok sudah mengoleksi 60 jenis aglaonema di rumahnya. Bibitnya didapat dari berbagai daerah. Kebanyakan, bibit-bibit aglaonema itu diberikan cuma-cuma oleh kawan-kawan sesama penghobi tanaman hias. Dari sekian banyak aglaonema itu, Yok juga punya tanaman-tanaman juara. Misalnya setangkai aglaonema yang dirawatnya dari dua helai daun. Tanaman itu sempat mengantongi juara satu kompetisi aglaonema tingkat nasional di Malang.
Dengan pengalamannya tersebut, Yok juga kerap ditunjuk sebagai dewan juri kompetisi aglaonema tingkat lokal hingga nasional. "Sebelumnya memang lebih sering menata aglaonema. Selain saya, ada beberapa kawan dari Salatiga yang jadi juri, juga dari kota lain. Saya sendiri ingin mempelajari ilmu aglaonema dari kawan-kawan, untuk mencari regenerasi juga," katanya.
Kepada Bisnis, Yok menceritakan bahwa mulanya dia lebih tertarik pada tanaman bonsai. Namun, pesona warna dan bentuk daun dari aglaonema mulai membuatnya penasaran. Rasa penasaran kemudian membuatnya makin jatuh hati, terlebih ketika Yok mulai akrab dengan berbagai jenis identifikasi tanaman aglaonema.
"Untuk pembudidayaan aglaonema itu memang lebih cepat dibanding tanaman hias lain. Tapi tidak bisa dibilang mudah juga, karena aglaonema itu rentan sebenarnya. Dia gampang terkena penyakit, bakteri, dibanding tanaman lainnya. Efeknya itu pembusukan di akar, maka kita juga harus paham kondisi media tanamnya juga," jelas Yok saat ditemui di kebun miliknya yang berlokasi di Salatiga.
Dari puluhan batang aglaonema, Yok mulai melengkapi koleksinya. Yok juga mulai percaya diri buat mengikuti berbagai kompetisi aglaonema yang digelar komunitas-komunitas di Salatiga dan sekitarnya. Dari situ, Yok mengantongi ilmu baru.
"Orang bilang, setiap kontes itu ada pemijatan. Karena tangkai daun aglaonema itu pasti bengkok, makanya kita tata. Kita luruskan. Simetrisnya antar satu daun itu sangat berpengaruh pada penilaian, makanya harus ditata," jelas Yok.
Selain simetrinya daun, aglaonema juga dinilai dari kelangkaan jenis yang dikonteskan. Namun, Yok menyebut aspek kesehatan tanaman jadi salah satu yang paling berpengaruh dalam kontes. "Kita menampilkan tanaman di kontes itu kan berarti menampilkan barang yang paling bagus di kandang kita sendiri. Tapi tetap dengan penataan tangan itu tadi. Jadi tidak asal keluar kandang," jelasnya.
Dari kontes tersebut, Yok bisa mengantongi keuntungan tambahan. Aglaonema yang dijadikan bahan kontes, biasanya dibeli dengan harga ratusan ribu. Setelah ditata, juga dipijiti, harga aglaonema itu bisa meroket hingga jutaan rupiah. Asalkan belum masuk kontes.
"Itu harganya bisa naik 3-4 kali lipat. Karena masih bisa diadu. Tapi kalau sudah juara, orang memang kadang mau beli. Tetapi, biasanya aglaonemanya itu stress, jadi tinggal bagaimana perawatan kita. Saya pernah coba barang harga Rp100.000, saya tawarkan Rp600.000 karena bisa diadu di kontes," kata Yok.
Kini, Yok sudah mengoleksi 60 jenis aglaonema di rumahnya. Bibitnya didapat dari berbagai daerah. Kebanyakan, bibit-bibit aglaonema itu diberikan cuma-cuma oleh kawan-kawan sesama penghobi tanaman hias. Dari sekian banyak aglaonema itu, Yok juga punya tanaman-tanaman juara. Misalnya setangkai aglaonema yang dirawatnya dari dua helai daun. Tanaman itu sempat mengantongi juara satu kompetisi aglaonema tingkat nasional di Malang.
Dengan pengalamannya tersebut, Yok juga kerap ditunjuk sebagai dewan juri kompetisi aglaonema tingkat lokal hingga nasional. "Sebelumnya memang lebih sering menata aglaonema. Selain saya, ada beberapa kawan dari Salatiga yang jadi juri, juga dari kota lain. Saya sendiri ingin mempelajari ilmu aglaonema dari kawan-kawan, untuk mencari regenerasi juga," katanya.