Bisnis.com, SEMARANG - Pemerintah melarang impor dan penjualan pakaian bekas atau akrab dengan sebutan thrifting. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop-UKM) Teten Masduki, bahkan mendorong agar pedagang pakaian bekas itu buat beralih menjual produk lain.
Baca Juga
"Sebenarnya banyak alternatif, pedagang-pedagang bisa menjual produk lokal. Jadi ini bukan sesuatu yang jadi pertimbangan untuk menyetop produk ilegal ini untuk diperdagangkan," ucapnya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mengenai hal tersebut, Gilang salah seorang pedagang pakaian bekas, mengaku keberatan. "Thrifting itu bukan musuh UMKM, justru barang KW dan barang palsu yang lebih merusak," ucap pria asal Kabupaten Magelang itu, Jumat (17/3/2023).
Gilang sendiri sudah beberapa tahun ini berjualan pakaian bekas melalui platform media sosial. Selain pakaian, pria itu juga menjual sepatu hingga tas yang sama-sama bekas. Pasarnya pun tak terbatas pada konsumen di Tanah Air.
"Namanya orang jualan ada sepi dan ramainya. Paling sepi itu bisa dapat sekitar US$250 per bulan, kalau ramai ya bisa lebih dari US$400. Belum ongkos pengiriman dan modal. Saya kirim lewat pos, untuk tujuan Asia itu sekitar Rp250.000 per pengiriman. Kalau ke Amerika Serikat dan Eropa itu bisa Rp1 jutaan," ungkap Gilang.
Sepengamatan Gilang, tren berjualan pakaian bekas mulai muncul sejak pandemi Covid-19. Banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu penyebab munculnya pedagang-pedagang baru. Awul-awul, istilah yang populer di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta untuk fenomena thrifting, kian populer.
"Kalau saya pasarnya ya mahasiswa, pekerja, juga pelajar. Untuk pedagangnya sendiri biasa tergabung dalam komunitas, seperti di Magelang, Salatiga, Semarang. Setiap daerah itu ada, sampai Kediri juga ada, tapi yang aktif memang di kota-kota besar.
Ada beberapa cara yang biasa dilakukan pedagang awul-awul itu buat mendapat barang jualan. Cara pertama adalah dengan membeli bal pakaian bekas impor dari beberapa pelabuhan. Harganya variatif, mulai Rp3 juta hingga Rp7 juta per bal. Tergantung jenis pakaian dan asal negaranya. "Ada juga yang cari barang dari hanger ke hanger, ibaratnya safari lah," ungkap Gilang.
Selain menolak buat beralih ke produk lain, Gilang juga menafikan anggapan bahwa berjualan pakaian bekas berarti ikut menyebarkan penyakit. "Barangnya memang bekas, tapi kan dikondisikan lagi. Semua yang mau dijual tetap harus dicuci, direndam, dikasih anti bakteri, disetrika. Sampai siap dipakai, kondisi bersih, baru bisa dikirim," jelasnya.
Lebih lanjut, fenomena thrifting atau awul-awul sendiri sudah ada bahkan sebelum pasar pakaian lokal terbentuk. Tren distribution outlet atau Distro dan factory outlet yang merebak di sekitar tahun 2000-2010 juga tak menyurutkan peminat awul-awul yang sudah eksis.
"Pasar distro dan thrifting itu berbeda. Secara margin keuntungan juga lebih banyak di thrifting, karena sebagai penjual tangan kedua, dengan modal Rp50.000 kami bisa jual di harga Rp200.000-300.000, ya jauh lah untungnya," ucap Gilang.