Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemunculan Selat Muria akan Dikaji oleh BRIN, Apakah Benar Terjadi?

Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN ikut buka suara soal dugaan kemunculan kembali Selat Muria setalah adanya banjir Kudus, Demak, Grobogan.
Peta Demak, Kudus, Grobogan yang terendam banjir hingga menimbulkan dugaan kembalinya Selat Muria
Peta Demak, Kudus, Grobogan yang terendam banjir hingga menimbulkan dugaan kembalinya Selat Muria

Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat tengah dihebohkan dengan dugaan kembalinya Selat Muria yang dulu pernah memisahkan Pulau Jawa.

Kemunculan kembali Selat Muria diduga dipicu akibat banjir bandang yang terjadi di wilayah Demak hingga Kudus dan Grobogan.

Selat Muria sendiri dulunya, pada 300 tahun lalu, merupakan perairan yang memisahkan Demak dan Kudus. Sehingga wilayah Kudus, Jepara, dan Pati berada di satu pulau memisah dengan Pulau Jawa.

Namun seiring dengan berjalannya waktu dan kejadian geologi, laut Selat Muria berangsur-angsur menyusut hingga perlahan berubah menjadi daratan.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adrin Tohari ikut menyoroti isu kembali munculnya Selat Muria.

Dia menilai pentingnya penelitian terkait Selat Muria yang kini dihubungkan dengan ancaman bencana alam seperti banjir besar di wilayah pesisir Demak. 

Adrin menegaskan bahwa perlu adanya pemahaman secara komprehensif terkait karakteristik sumber bahaya geologi untuk melakukan mitigasi bencana secara efektif.

“Isu munculnya Selat Muria ini perlu dilihat dari kejadian bencana banjir besar yang terjadi di wilayah pesisir Demak akibat faktor cuaca ekstrim dan juga kontribusi penurunan tanah. Untuk itu riset terkait aspek cuaca ekstrim, dan penurunan tanah sangat penting dilakukan di wilayah pesisir Demak,” katanya, dalam keterangan resmi, pada Kamis (28/3/2024). 

Menurutnya, riset terkait aspek cuaca ekstrim dan penurunan tanah di wilayah pesisir Demak merupakan langkah penting untuk memahami dan mengurangi risiko bencana. 

Dia mengungkap bahwa tim periset dari LIPI sebelumnya telah melakukan riset pada 2017–2019, yang mengungkapkan bahwa laju penurunan tanah di wilayah Kota Demak mencapai 2,4-2,5 cm per tahun, disebabkan oleh proses pemadatan alami dan penurunan muka air tanah.

Adapun fokus riset BRIN, lanjut Adrin, adalah di bidang kebencanaan geologi yang merupakan langkah krusial dalam memitigasi risiko bencana secara efektif. 

Menurutnya, dengan pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik sumber bahaya geologi dan penerapan teknologi pemantauan yang tepat, diharapkan masyarakat dapat lebih siap menghadapi ancaman bencana alam, termasuk potensi risiko di sekitar Selat Muria.

“Mitigasi bencana itu memerlukan pengetahuan yang komprehensif mengenai karakteristik sumber bahaya geologi. Riset kebencanaan geologi yang dilakukan harus dapat menghasilkan informasi ilmiah terkait karakteristik sumber bahaya geologi dan kerentanan suatu wilayah terhadap risiko bencana dan juga teknologi pemantauan sumber bahaya yang murah untuk dapat mendukung upaya mitigasi bencana geologi secara efektif,” tambahnya.

Sejarah Selat Muria

Pada sejarahnya, Selat Muria dulunya adalah jalur pedagangan antara Pulau Muria dan Pulau Jawa. Sebuah laporan pada 1657 mencatatkan, endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara di Selat Muria seperti Sungai Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi mengakibatkan pendangkalan sehingga selat tersebut tidak dapat dilalui kapal-kapal besar.

Pusat perdagangan kemudian dipindahkan ke Jepara. Sebuah endapan kemudian gali namun semakin lama semakin menutup Selat Muria.

Pada masa-masa terakhir keberadaan Selat Muria ditandai dengan adanya Sungai Kalilondo.

Melansir dari Undip.ac.id, pendangkalan Sulat Muria terus terlihat di abad ke-17. Akibatnya kapal-kapal yang melalui jalur perdagangan tak lagi bisa berlayar.

Pendangkalan selat tersebut terjadi karena saat itu terjadi perkembangan dataran aluvial di sepanjang pantai utara Jawa. Meski demikian, pada musim hujan perahu-perahu kecil masih bisa mengarungi selat itu dari Demak hingga Juwana.

Pada 1996, seorang peneliti bernama Lombard menjelaskan ada air laut dari Selat Muria yang masih tersisa sampai sekarang. Air laut yang terperangkap di dataran Jawa itu kemudian dikenal dengan nama Bledug Kuwu.

Viral di media sosial

Banjar yang terjadi di daerah Demak, Kudus, hingga Grobogan ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan Selat Muria.

Tak kunjung surut, banjir yang terjadi wilayah pesisir Jawa Tengah itu diduga akan menjadi penyebab munculnya kembali Selat Muria yang sudah lama terendap.

Banyak netizen yang kemudian melontarkan pepatah Jawa yakni "malih dadi segoro" atau "berubah menjadi lautan" untuk mendeskripsikan fenomena alam yang terjadi di daerah sekitar Demak, Kudus, dan Grobogan. 

Meskipun muncul dalam sejarah, namun kemunculan Selat Muria melalui bencana banjir di daerah Demak ini belum bisa dikonfirmasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper

Terpopuler