Pada sejarahnya, Selat Muria dulunya adalah jalur pedagangan antara Pulau Muria dan Pulau Jawa. Sebuah laporan pada 1657 mencatatkan, endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara di Selat Muria seperti Sungai Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi mengakibatkan pendangkalan sehingga selat tersebut tidak dapat dilalui kapal-kapal besar.
Pusat perdagangan kemudian dipindahkan ke Jepara. Sebuah endapan kemudian gali namun semakin lama semakin menutup Selat Muria.
Pada masa-masa terakhir keberadaan Selat Muria ditandai dengan adanya Sungai Kalilondo.
Melansir dari Undip.ac.id, pendangkalan Sulat Muria terus terlihat di abad ke-17. Akibatnya kapal-kapal yang melalui jalur perdagangan tak lagi bisa berlayar.
Pendangkalan selat tersebut terjadi karena saat itu terjadi perkembangan dataran aluvial di sepanjang pantai utara Jawa. Meski demikian, pada musim hujan perahu-perahu kecil masih bisa mengarungi selat itu dari Demak hingga Juwana.
Pada 1996, seorang peneliti bernama Lombard menjelaskan ada air laut dari Selat Muria yang masih tersisa sampai sekarang. Air laut yang terperangkap di dataran Jawa itu kemudian dikenal dengan nama Bledug Kuwu.
Baca Juga
Viral di media sosial
Banjar yang terjadi di daerah Demak, Kudus, hingga Grobogan ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan Selat Muria.
Tak kunjung surut, banjir yang terjadi wilayah pesisir Jawa Tengah itu diduga akan menjadi penyebab munculnya kembali Selat Muria yang sudah lama terendap.
Banyak netizen yang kemudian melontarkan pepatah Jawa yakni "malih dadi segoro" atau "berubah menjadi lautan" untuk mendeskripsikan fenomena alam yang terjadi di daerah sekitar Demak, Kudus, dan Grobogan.
Meskipun muncul dalam sejarah, namun kemunculan Selat Muria melalui bencana banjir di daerah Demak ini belum bisa dikonfirmasi.