Bisnis.com, JAKARTA – Kisah tentang perjuangan mewujudkan kesejahteraan sama epiknya ketika Pandawa terlibat palagan dengan Kurawa. Penuh konflik, tantangan, perdebatan, bahkan kasak-kusuk nyinyir dari berbagai kalangan.
Tetapi, di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah ceritanya berbeda. Meski konsep sejahtera bagi mereka berbeda dengan masyarakat perkotaan, perjuangan warga desa untuk mewujudkan kesejahteraan bukan lagi isapan jempol.
“Alhamdulillah, di desa kami tidak ada orang miskin,” kata Junaedhi Mulyono, Kepala Desa Ponggok, Klaten saat menyambut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu.
Lewat tangan dingin pria yang dua kali menjabat Kepala Desa itu, Desa Ponggok berubah menjadi desa yang cukup mentereng. Tahun ini Ponggok memperoleh gelar prestisius sebagai desa wisata terbaik. Kunci kesuksesannya yakni penerapan konsep good governance dan kredibilitas anggaran melalui transparansi penggunaan anggaran desa.
Perkawinan dua konsep itu berhasil mengoptimalkan pembangunan di desa berpenduduk kurang lebih 700 kepala keluarga tersebut. Infrastruktur dasar misalnya jalan desa, fasilitas MCK, hingga Badan Usaha Milik Desa nyaris sempurna. Bahkan soal BUMDes, Desa Ponggok menargetkan penerimaan desa tahun ini tembus ke angka Rp15 miliar.
Target itu cukup ambisius, namun dengan potensi Desa Ponggok utamanya pariwisata dan aksi ekspansif dari BUMDes- nya rasanya target itu tak mustahil untuk diraih. Apalagi sokongan pemerintah melalui alokasi dana desa, turut membantu mempersiapkan infrastruktur dasar penunjang serta sumber daya manusia yang mumpuni.
Kendati demikian, Ponggok dan cerita suksesnya hanya satu etalase kecil dari puluhan ribu desa yang sampai kini masih sibuk dengan berbagai macam problematika. Korupsi, kolusi, penyimpangan anggaran, hingga belum jelas arah pemerintahan desa masih menjadi pekerjaan yang kerap mengganjal.
Kasus di Pamekasan Jawa Timur, seorang Kepala Desa bersama Bupati Pamekasan Madura menjadi sasaran operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi, karena berusaha memainkan perkara penyelewengan dana desa yang sedang ditangani Kejaksaan Negeri Pamekasan.
Praktik kongkalikong antara eksekutif, pemerintahan desa, hingga penegak hukum itupun menjadi cerminan karut marut administrasi desa dan betapa rawannya penggunaan dana desa.
Padahal, konsep dana desa semula cukup ideal. Gelontoran dana desa ditujukan memacu pembangunan daerah serta menjadi salah satu implementasi dari Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Pemerintah pusat fokus untuk membenahi infrastruktur berskala besar, sedangkan desa melalui sumber dana dan sumber daya komunalnya bisa mempercepat realisasi infrastruktur dasar.
Kisah skandal kongkalikong antara eksekutif, pemerintahan desa, hingga penegak hukum itupun harus warning bagi pemerintah untuk memastikan penyaluran stimulus pembangunan desa itu sudah optimal. Evaluasi perlu digalakkan sebelum kebijakan untuk menaikkan anggaran dana desa setiap tahun dilakukan.
Struktur anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 tampaknya mengonfirmasi sikap 'awas' pemerintah terhadap penggunaan anggaran dana desa. Anggaran TKDD dipatok senilai Rp761,08 triliun atau turun sekitar Rp5,25 triliun dibandingkan tahun ini. Khusus dana desa, alokasi anggarannya tidak berubah dari tahun lalu atau stagnan di kisaran Rp60 triliun.
Kendati bakal mengevaluasi penyaluran, namun pemerintah membantah apabila efektifitas dana desa dalam proses pembangunan dan pengentasan kemiskinan di masyarakat pedesaan mandul.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, pada 2014 atau sebelum implementasi dana desa, kemiskinan di desa masih tinggi dengan gini rasio 0,34. Namun setelah implementasi dana desa, guni rasio masyarakat pedesaan turun menjadi 0,32 pada 2017.
Kondisi itu juga dibuktikan dengan turunnya jumlah penduduk miskin dari 17,7 juta pada 2014 menjadi 17,1 juta pada 2017. Sedangkan dari persentase penduduk miskin pedesaan juga turun menjadi 13,93% pada 2017 dari sebelumya 14,09% pada 2015.
Di samping itu, pada 2016 melalui dana desa pemerintah juga berhasil membangun 66.179 kilometer jalan desa, 511.484 meter jembatan desa, 686 embung, 65.573 drainase dan irigasi, 36.951 MCK, dan 15.948 air bersih.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengatakan evaluasi penyaluran dana desa akan dilakukan per wilayah, misalnya dengan jumlah desa yang hampir sama yakni 23.000 desa di Jawa dan Sumatra tingkat ke kemajuannya sangat bervariasi.
Dengan jumlah anggaran yang sama yakni Rp18 triliun, di Sumatra masih tersisa 75% desa tertinggal dan desa sangat tertinggal atau masih jauh dibandingkan capaian Jawa yang hanya 31,1%.
Oleh karena itu ramuan distribusi anggaran juga mesti diubah, jika tahun ini 90% distribusinya dibagi rata. Pada 2018, persentasenya diturunkan menjadi 77% dibagi rata 3% khusus untuk daerah tertinggal dan sangat tertinggal yang mempunyai jumlah penduduk miskin terbanyak. Sedangkan 20% sisanya, dipertimbangkan untuk daerah yang memiliki jumlah penduduk hingga wilayah yang luas.
Namun di luar persoalan skema dan proses penganggaran, persoalan lain yang mesti difokuskan pemerintah adalah situasi administrasi penerintahan desa. Tanpa good governance dan pengelolaan anggaran yang akuntabel, bisa jadi gelontoran dana desa akan menjadi dana yang mubadzir.