Bisnis.com, SEMARANG – Peluh tampak membasahi tubuh Satio Sucipto Sudarmo, 63, Rabu (4/7/2018) siang. Kakek enam orang cucu itu tampak lelah seusai mengerjakan pesanan kompor minyak di rumah yang terletak di Kampung Sawah Besar No. 35 Gang VI, RT006/RW 004, Kaligawe, Gayamsari, Kota Semarang.
“Ini baru saja selesai mengerjakan kompor minyak pesanan dari beberapa pedagang di Bugangan. Rencana mau mandi, terus istirahat,” ujar Satio saat ditemui JIBI, Rabu (4/7/2018).
Satio merupakan satu-satunya perajin kompor minyak yang masih bertahan di Kota Semarang. Meski tak dibantu dengan satu orang pekerja pun, pria asal Batu, Wonogiri itu tetap menjalankan usaha yang sudah ditekuni sejak 1979 itu.
“Sekadar untuk hiburan. Keuntungannya sih enggak seberapa. Hanya untuk melayani pesanan dari para pedagang peralatan dapur di Bugangan, Pasar Johar Baru, dan Demak,” tutur Satio.
Satio pun menuturkan awal mula menjalankan usaha sebagai perajin kompor minyak. Awalnya, bapak tiga orang anak itu bekerja di pabrik pembuatan kompor minyak, Gaya Baru, di Bugangan pada tahun 1972 silam.
Setelah bekerja lebih dari tujuh tahun, Satio memberanikan diri membuka usaha pembuatan kompor minyak sendiri. Alasannya tak lain karena penghasilan sebagai pekerja dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
“Saat itu saya sudah menikah dan punya anak satu. Sementara gaji cuma Rp3.000. Enggak cukup membiayai hidup keluarga. Akhirnya, saya buka usaha sendiri,” ujar Satio.
Keinginan Satio itu ternyata mendapat restu dari bos tempatnya bekerja. Bos Gaya Baru kala itu, almarhum Sukijo, bahkan memberikan sedikit modal untuk Satio membuka usaha.
Awal membuka usaha, Satio dibantu dua orang pekerja. Lambat laun usaha pembuatan kompor minyak dengan merek Tugu Mas miliknya pun berkembang cukup pesat. Bahkan, kala itu ia mampu mengaji delapan karyawan.
“Masa kejayaan usaha kompor minyak terjadi sekitar tahun 1997. Saat Pak Harto [Presiden Kedua RI, Soeharto] lengser. Saat itu, harga minyak tanah murah jadi banyak yang membeli kompor minyak,” cerita Satio.
Satio mengaku pada masa itu, dirinya bahkan hampir kewalahan melayani pesanan. Tak kurang dari 300 unit kompor minyak buatanya terjual setiap pekan. Namun, lambat laun usahanya mulai surut. Kebijakan pemerintah terkait konversi minyak ke gas pada 2007 silam membuat usahanya sepi.
Banyak orang yang mulai beralih dari kompor minyak ke kompor gas. Ia pun mulai merumahkan para pekerja dan melanjutkan usaha pembuatan kompor minyak sendiri.
“Sekarang dapat pesanan sekitar satu lusin sepekan saja sudah bagus. Selain itu, untungnya juga sedikit. Satu kompor saya jual Rp35.000, itu pun lakunya enggak seramai dulu,” tutur Satio.
Satio mengaku meski usahanya saat ini telah surut, dirinya cukup bangga. Hal itu dikarenakan melalui usaha itu, dirinya sudah mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga lulus perguruan tinggi.
Selain itu, dirinya juga merupakan satu-satunya perajin kompor minyak yang masih tersisa di Kota Semarang. Beberapa hasil kerajinannya pun saat ini masih kerap menghiasi pasaran peralatan dapur di beberapa daerah di Kota Semarang.
“Sekarang sudah enggak ada yang mau membuat kompor minyak. Lebih banyak untungnya membuat panci, oven, atau peralatan dapur lain yang modern. Padahal, sebenarnya kalau minyak tanah harganya lebih murah dan dapat diperoleh dengan mudah, masih banyak orang yang suka menggunakan kompor minyak,” tutur Satio.