Bisnis.com, SEMARANG – Antusiasme ditunjukkan sejumlah perempuan saat mengikuti pertemuan di Balai RW 006, Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kamis (2/8/2018).
Dengan mengenakan kaos bertuliskan ‘Pray for Sunan Kuning’, para perempuan itu dengan seksama memperhatikan kata-kata yang disampaikan para pembicara.
Para perempuan itu tak lain adalah para pekerja seks komersial (PSK) yang selama ini menggantungkan hidup di Resosialisasi Argorejo atau Sunan Kuning (SK). Mereka mengikuti pertemuan untuk mendengarkan diskusi publik bertajuk Kesehatan di Tengah Sampah Masyarakat.
Meski bertemakan kesehatan, diskusi tersebut justru kerap membicarakan tentang rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang ingin menutup kawasan prostitusi SK. Pemkot berencana menutup SK sebagai tindak lanjut rencana pemerintahan Joko Widodo yang mencanangkan Indonesia Bebas Prostitusi 2019.
Bagi para PSK SK, rencana penutupan itu jelas menjadi momok yang menakutkan. Mereka khawatir, mata pencarian selama ini sebagai penjaja seks berakhir. Selain itu, jika menjajakan tubuh di luar kawasan SK, kesehatan pun tak lagi terjamin.
“Kalau di sini kan masih sering dapat screening kesehatan, baik IMS [infeksi menular seksual] maupun VCT [voluntary counselling and testing]. Nah, kalau ini ditutup, terus pada kerja di jalanan siapa yang mau menjamin melakukan pemeriksaan?” ujar mantan PSK yang masih tinggal di Resosialisasi Argorejo berinisal EN saat berbincang dengan JIBI, Kamis.
EN mengatakan selama ini para PSK sudah berupaya memperbaiki diri dengan mengikuti berbagai pelatihan, seperti tata boga, menjahit, maupun salon kecantikan. Pelatihan dilakukan supaya kelak menjadi sandaran hidup seandainya tidak lagi menjajakan seks.
Meski demikian, EN mengaku keterampilan itu belum bisa menjadi jaminan masa depan. Hal itu pulalah yang membuat para PSK menolak upaya penutupan SK yang rencana dilakukan akhir tahun ini.
“Kalau jual makanan hasilnya enggak seberapa. Paling selama sepekan laris, habis itu enggak. Nah, duitnya enggak seberapa. Padahal, saya ini andalan keluarga untuk memenuhi kebutuhan,” ujar perempuan yang mengaku berasal dari Kabupaten Semarang itu.
EN menambahkan saat ini ada sekitar 488 pekerja seks yang masih menjajakan diri di 150 wisma. Namun, jumlah itu belum sepenuhnya karena masih ada PSK dari luar kompleks yang tidak terdata karena tidak mengantongi kartu tanda anggota (KTA).
Setiap hari bekerja di kawasan prostitusi terbesar di Semarang itu, para pekerja seks kerap menerima perlakuan yang kasar dari para tamu. Ia bahkan pernah mendapat perlakuan kasar baik secara lisan maupun fisik.
“Tapi mau bagaimana lagi. Rata-rata masih menggantungkan mata pencarian di sini. Mereka juga enggak mau menjadi PSK, rata-rata terjun ke sini karena menjadi korban. Ada yang karena dipoligami, mendapat KDRT, maupun ditipu pacarnya,” beber EN.
Sementara itu, Koordinator Keamanan SK yang juga aktivis Lentera ASA, Ari Istiadi, mengaku pihaknya masih getol mengupayakan agar penutupan SK ditunda.
“Hari ini kami kumpulkan sejumlah NGO dan perwakilan anak asuh [PSK SK], agar paham manfaat cek kesehatan. Mudah-mudahan pemkot tergerak untuk mengkaji rencana penutupan resosialisasi pada 2019,” tutur Ari.