Bisnis.com, JAKARTA – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi prioritas di tengah masa wabah Virus Corona. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang dihadapi.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Jumeri mengatakan bahwa pelaksanaan PJJ pada awalnya cukup mendadak, sehingga baik murid dan guru tidak punya persiapan apa pun. Sebagai upaya agar dapat diterima seluruh masyarakat, Dinas Pendidikan Jawa Tengah terus melakukan sosialisasi.
Jumeri memaparkan kendala selama PJJ cukup beragam. Berdasarkan suvei pada sekitar 2.000 siswa SMA dan SMK, siswa sudah melaksanakan belajar di rumah, semuanya secara daring.
“Pelaksanaan ini sudah mengakomodasi 80 persen jumlah peserta didik di Jateng, dan secara umum sekolah sudah buat jadwal terstruktur dengan baik,” kata Jumeri, Selasa (14/7/2020).
Selanjutnya, dari sisi keterjangkauan, secara umum pelaksanaan PJJ daring sepenuhnya itu baru 20 persen – 25 persen sekolah di Jawa Tengah dan tidak merata jumlahnya di tiap Kabupaten/Kota. Menurut Jumeri, sekolah yang berlokasi di kota bisa melakukan PJJ lebih baik dibandingkan dengan yang di pedalaman.
Salah sati strateginya, Dinas Pendidikan Jateng mendidik hampir 2.000 guru untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara daring. Kemudian, guru yang sudah mendapat pendidikan mengajarkan kepada 20 guru lainnya.
“Hal ini dilakukan supaya kita bisa tidak begiru bergantung pada dana pemerintah,” kata Jumeri.
Dengan langkah tersebut, pada awal PJJ hanya 50 persen guru yang menguasai KBM daring, sekarang sudah 60 persen dengan guru yang sepenuhnya melaksakanan KBM daring interaktif hanya 20 persen.
Guru lainnya yang tidak melaksanakan KBM daring interaktif membuat modul belajar, dan secara berkala gurunya mengambil/orangtua mengantar modul tersebut ke sekolah. Modul tersebut berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan para murid.
“Dari cara belajar ini saya mendapat laporan siswa merasakan banyak tekanan karena banyak tugas. Anak-anak juga merasa kejenuhan apalagi rumahnya belum tentu kondusif, sehingga tidak nyaman untuk anak belajar,” imbuh Jumeri.
Kemudian ada keterbatasan perangkat KBM, baik yang dimiliki guru dan peserta didik. Di kota besar tingkat kepemilikkan gawai 70-80 persen, tapi di pedalaman lebih rendah lagi.
“Jadi ketika ada belajar tatap muka online, ada siswa yang tidak bisa mengikuti itu,” ungkap Jumeri.