Bisnis.com, SOLO — Kredit macet atau non performing loan (NPL) perbankan (bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat) menurun pada Oktober 2020, yakni sebesar 9,92 persen.
NPL ini turun jika dibandingkan dengan September 2020 sebesar 10,12 persen dan Agustus 2020, tercatat 10,38 persen. Meskipun demikian, angka kredit macet ini terbilang tinggi lantaran dipicu tidak lancarnya pembayaran kredit salah satu debitur besar notabene perusahaan tekstil di Solo.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo, Eko Yunianto, mengatakan persentase kredit macet ini turun jika dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year on year), NPL naik 1,77 persen. Bahkan, NPL ini lebih besar daripada NPL Jawa Tengah sebesar 5,18 persen dan nasional 3,3 persen.
“Penyebabnya adalah salah satu debitur besar bank umum di bidang tekstil yang tidak lancar membayar kredit sejak September 2019 lalu. NPL ini senilai Rp8,951 triliun [Oktober 2020],” ujarnya, dalam pertemuan tahunan wartawan ekonomi dan bisnis, Selasa (8/12/2020).
Lebih lanjut Eko menjelaskan untuk NPL bank konvensional, bank syariah, dan unit usaha syariah pada Oktober 2020 sebesar 10,25 persen senilai Rp8,588. Persentase ini lebih baik daripada kredit macet September 2020 sebesar 10,46 persen senilai Rp8,687 triliun. Secara month to month (mtm), NPL tersebut turun 1,48 persen.
Di sisi lain, sektor yang menyebabkan kredit macet paling besar adalah debitur industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 26,68 persen. Setelah itu NPL lainnya disumbang oleh sektor penyediaan jasa akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar 13,69 persen, disusul kegiatan yang belum jelas batasnya 8,01 persen, dan konstruksi 5,22 persen.
Baca Juga
Meskipun demikian, aset dan kredit bank umum (bank konvensional, bank syariah, dan unit usaha syariah) tumbuh. Aset tumbuh 0,16 persen (mtm) senilai Rp92,421 trilun. Sementara penyaluran kredit naik 0,54 persen senilai Rp83,491 triliun.
“Penyaluran kredit berdasarkan jenis penggunaan paling besar untuk modal kerja dengan persentase sebesar 59 persen [Rp 5,965 triliun], disusul konsumsi 22 persen [Rp2,366 triliun], dan investasi 19 persen [Rp226 miliar]. Sedangkan dari jenis usahanya paling banyak bukan usaha mikro, kecil, menengah [MKM] senilai Rp6,918 triliun,” papar dia.
Sementara itu, Kepala Tim Advisory dan Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Solo, Bimala, menambahkan penyaluran kredit di Soloraya tumbuh sebesar 3,7 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (11,8 persen, yoy), dipicu oleh perlambatan pada kredit modal kerja, investasi dan konsumsi.
“Di tengah kondisi tersebut, pertumbuhan pada DPK tercatat juga melambat. Lebih lanjut, pertumbuhan kredit masih dalam tren yang melambat dengan NPL yang juga cenderung meningkat,” jelas dia.