Bisnis.com, SURAKARTA – Perubahan perilaku pembaca, proses produksi konten, hingga aspek pemasaran di sektor media kini telah memunculkan fenomena disrupsi.
Agus Sudibyo, Anggota Dewan Pers, menjelaskan media-media di luar negeri, khususnya di Benua Eropa, telah lebih dulu mengalami disrupsi tersebut. Ketakutan akan habisnya media-media konvensional seperti televisi, radio, media cetak, dan media siber pun terbantahkan.
“Disruption itu jadi fenomena global dan yang mengalami bukan hanya sektor media, semua sektor [usaha] mengalami. Kita ini sedang memasuki era dimana ketidakpastian adalah kepastian. Jadi uncertainty as certainty,” jelas Agus, dalam diskusi virtual yang digelar Solopos/Jaringan Informasi Bisnis Indonesia, Selasa (12/10/2021)..
Agus menuturkan media massa di Benua Eropa sudah menemukan model-model keberlanjutan media, dimana model bisnisnya, model jurnalismenya, bagaimana sistem distribusi konten mereka sudah menemukan bentuknya.
"Negara juga sudah mulai paham, bagaimana mereka [media] hadir, intervensi apa yang dibutuhkan untuk menyehatkan ekosistem media,” jelas Agus.
Berbagai penemuan tersebut pada akhirnya melahirkan keseimbangan baru, atau Agus menyebutnya sebagai new equilibrium, bagi industri media di negara-negara Barat. Sayangnya, hal tersebut masih sulit untuk terwujud di Indonesia.
Baca Juga
Media sosial menjadi salah satu saingan berat bagi media-media di tanah air. Agus menjelaskan bahwa tingginya intensitas masyarakat dalam bermedia sosial membuat tingkat keterbacaan media konvensional semakin menurun.
Hal tersebut memang tak selamanya buruk. Sebab, media sosial membuka lebar-lebar keran informasi dan kebebasan berpendapat. Sayangnya, kebebasan tersebut seringkali disalahgunakan dan justru memperburuk ruang diskusi di media sosial.
Untuk itu, Agus menyebut bahwa pengelola media tanah air mesti segera melakukan sejumlah langkah. Tak hanya sebagai upaya untuk tetap bertahan di tengah disrupsi yang terjadi, tapi juga untuk mempercepat munculnya keseimbangan baru tersebut. “Pengelola media konvensional harus mampu mendiferensiasi dirinya di hadapan platform media sosial,” tambahnya.
Diferensiasi tersebut, menurut Agus, tak hanya dengan beradaptasi pada perkembangan teknologi terkini. Namun, diferensiasi tersebut juga harus mampu disesuaikan dengan perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat. “Di sisi lain, negara juga harus hadir untuk memberikan regulasi yang afirmatif terhadap industri media nasional, seperti yang juga terjadi di negara-negara lain,” tambahnya.
Presiden Direktur Solopos Media Group, Arif Budisusilo, optimis bahwa media-media di tanah air akan mampu bertahan dari disrupsi yang terjadi hari ini. Menurutnya, titik keseimbangan baru bakal segera muncul. “Ini akan memberikan jalan baru. Bahwa media akan menemukan cara baru yang pas dan relevan. Dengan perubahan teknologi, laku masyarakat, maupun di bisnisnya,” jelasnya.
Arif menilai bahwa perubahan pola produksi merupakan salah satu bentuk penyesuaian media dalam menghadapi disrupsi. “Kalau istilahnya dulu kan newsroom, mungkin sekarang karena perkembangan teknologi, perubahan distribution channel, perubahan perilaku konsumen, perubahan perilaku brand juga, mungkin newsroom ini mesti menjadi publishing room. Jadi mindset perilaku di dalamnya juga berubah, supaya bisa selalu pas dengan tuntutan yang terjadi di publik dan bisnis,” jelasnya.
Penerbitan atau publishing, menurut Arif, memiliki konteks bisnis dan produksi yang jauh lebih luas. Tak terbatas pada produksi berita, tapi juga produksi konten yang banyak diminati pembaca hari ini. Meskipun demikian, kualitas konten tak boleh dinomorduakan. Begitu pula sebaliknya, aspek bisnis juga tak bisa dianak emaskan.
“Konten dan bisnis ini gak bisa dipisahkan. Konten harus bagus, tetapi bisnis juga harus relevan. Jadi bukan konten versus bisnis, kalau dulu kan kita selalu membenturkan antara ruang redaksi dengan teman-teman di pemasaran. Sekarang ini sudah gak bisa lagi,” jelas Arif.
Agus juga menambahkan bahwa hal yang sama juga berlaku ketika media melakukan transisi. Penyesuaian ataupun perbaikan konten mesti diikuti oleh optimalisasi dan pengembangan bisnis. “Gak bisa duluan konten atau bisnis. [Keduanya mesti] berbarengan, paralel, dan simultan. Karena going digital itu bukan opsi, tapi is a must,” ujarnya.
Untuk beradaptasi dengan disrupsi tersebut, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) berupaya untuk berperan aktif dalam memberikan dukungan. “Kita mau berusaha supaya media-media ini hidup, tetap hidup, dan tetap untung,” jelas Wens Manggut, Ketua AMSI.
Wens mengungkapkan bahwa pihaknya terus berupaya untuk dapat menjembatani pihak swasta dan pemerintah dengan pelaku media di tanah air. Untuk itu, AMSI terus mendorong perusahaan-perusahaan media siber di tanah air untuk dapat beroperasi secara legal dan resmi.
“Sebetulnya, kalau kita tanya ke brand besar, market mereka di daerah itu sebenarnya besar. Sebetulnya empuk kalau dibidik melalui media lokal. Problemnya adalah tidak ada yang menuntun media lokal di daerah itu yang prudent, yang baik secara jurnalistik, itu yang mana. Saya kira tugas AMSI di situ. Menuntun bersama brand besar ini, mempertemukan mereka dengan teman-teman [media] daerah,” jelas Wens.