Bisnis.com, SEMARANG – Matahari masih belum terlalu tinggi ketika Asih menyerut potongan-potongan bambu. Bersama beberapa orang tetangganya, Asih biasa menyiapkan bahan baku besek di sebuah pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Potongan-potongan bambu itu didapatnya dari kebun yang berlokasi di atas bukit.
“Biasa ambil bambu ya satu lonjor lah kalau cara sini, ambil sendiri di kebun sendiri,” ucapnya saat ditemui Bisnis beberapa waktu lalu.
Asih sudah lebih dari tiga puluh tahun tinggal di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Setiap harinya, Asih bisa membuat 10 tangkep besek. Kadang, besek-besek yang sudah jadi itu dijualnya langsung ke pengepul. Tapi tak jarang, besek dikumpulkan terlebih dahulu supaya Asih bisa mengantongi lebih banyak uang. Harga setangkep besek sendiri berkisar di angka Rp1.500-2.500.
Dari besek yang dibikinnya setiap hari, perempuan itu bisa menyukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan, dari besek-besek bambu itu pulalah Asih mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku perguruan tinggi. Besek memang jadi salah satu pundi penghasilan warga Wadas, setidaknya sejak tahun 1980-an. Hampir di setiap halaman rumah, terlihat tumpukan serutan bambu yang tengah dijemur, sebelum nantinya dianyam menjadi besek.
Tak heran ketika warga, termasuk Asih, kebingungan ketika mendengar kabar pemerintah bakal menambang batu andesit di desanya. Kebun bambu milik Asih menjadi salah satu bidang tanah yang bakal ditambang, sebab lokasinya memang berada tepat di atas bukit.
“Kalau ditambang itu semuanya hancur, habis. Nanti anak cucu saya mau makan apa? Mau tinggal dimana?” tanya Asih.
Warga Wadas Masih Menolak
Gelombang penolakan atas rencana tambang di Desa Wadas hingga hari ini masih terus berlangsung. Selain Asih, sebagian besar warga desa mengaku tak ingin bukit di desanya habis ditambang.
“Yang hilang itu bukit di sebelah sana itu. Dampaknya ngeri lah. Karena pemukiman itu adanya di bawah semua. Saya orang Wadas kalau jadi korban ya tidak mau, makanya saya menolak,” ucap Taufik, salah seorang warga.
Taufik sendiri bermata pencaharian sebagai seorang petani. Kebunnya berada di lokasi yang rencananya bakal habis ditambang. Kepada Bisnis, pria paruh baya tersebut mengaku bingung semisal harus banting setir. Sebab, sudah turun temurun darah petani mengalir dalam dirinya. “Sudah biasa bertani terus [disuruh] kerja lain ya bingung,” ucapnya.
Selain generasi tua, suara penolakan juga muncul dari generasi muda di Desa Wadas. Siswanto, misalnya, menolak rencana penambangan karena menganggap desanya sudah lebih dari cukup untuk memberikan penghidupan bagi anak-anak muda sepertinya.
Siswanto khawatir tanah di desanya itu akan rusak apabila rencana penambangan tetap terus berlanjut.
“Sudah banyak teman-teman muda yang hari ini menetap di Wadas. Karena yang aku lihat, teman-teman merasa tanah kelahiran itu perlu dilestarikan. Teman-teman mau meneruskan pertanian di sini. Banyak juga kok pemuda yang memutuskan untuk tidak merantau lagi. Jadi ya ini salah satu bukti bahwa hal yang paling istimewa itu tanah kelahiran. Kayak gimana juga tempatnya, kalau sudah tumpah darah di situ ya pasti dikenang dan dirasakan, apalagi sudah bergenerasi [tinggal],” jelas Siswanto.
Berbeda dengan Taufik yang mengandalkan kegiatan pertanian untuk menyambung hidup, Siswanto mengungkapkan bahwa anak-anak muda di Wadas kini mulai berupaya untuk mengolah hasil pertanian di kampung halamannya. Misalnya saja aren hasil sadapan yang biasanya hanya diolah menjadi gula.
“Ini teman-teman baru mencoba untuk kita olah dan buat semacam sirup atau seperti gula semut. Kan menarik sekarang, lagi tren jadi pengganti gula pasir. Ini teman-teman lagi belajar ke arah sana. Karena misalkan dijual berupa gula aren, mungkin harganya Rp20.000. Tetapi semisal dibuat gula semut atau sirup kan nilainya bisa tiga kali lipat, pasarnya juga ada di mana-mana,” jelas Siswanto.
Pembebasan Lahan Wadas Tetap Berlanjut
Siswanto mengungkapkan bahwa warga Wadas masih konsisten untuk menolak rencana penambangan. Kalaupun ada yang mendukung, menurutnya suara tersebut datang dari warga luar desa yang memiliki lahan di Wadas.
“Menurutku, yang warga Wadas khususnya, hampir semuanya menolak. Malah 100 persen aku bilang menolak. Karena yang menerima [ganti rugi] itu bukan orang Wadas dan orang Wadas yang gak punya tanah. Jadi kalau gak punya kepentingan apa-apa ya, mau pro atau menolak, ya gak ada urusan apa-apa,” ujarnya kepada Bisnis.
Dua bukit yang membelah Desa Wadas bak ikut memecah suara warga. Siswanto menyebut luas lahan warga yang menerima ganti rugi dari pemerintah tidaklah seberapa. Terlebih jika dibandingkan dengan lahan milik warga yang benar-benar terdampak, yang luas lahannya bisa berhektare-hektare. “Tegangan pro-kontra itu masih ada. Tapi satu desa itu tidak semuanya pemilik tanah di quarry,” tegasnya.
Pengakuan tersebut terbukti ketika pemerintah mulai memberikan uang ganti rugi pada Rabu (27/4/2022) dan Kamis (28/4/2022) kemarin. Dari 296 bidang lahan yang telah dibebaskan, sebagian justru dimiliki oleh warga Desa Cacaban Kidul.
“Total nilainya kurang lebih Rp335 miliar. Total luasan yang hari ini kita bayarkan di Desa Wadas 46,6 hektare,” jelas Dwi Purwantoro, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak, dalam acara pembagian uang ganti rugi tersebut.
Baca Juga : Pembayaran Ganti Rugi Warga Wadas Dipercepat |
---|
Dari dokumen Analisis Dampak Lingkungan Proyek Bendungan Bener yang diterima Bisnis, lahan seluas 46,6 hektare tersebut hanya sebagian kecil dari keseluruhan lahan yang diperlukan bagi rencana penambangan di Wadas. Sebab luas quarry di Wadas setidaknya bakal berada di lahan seluas 132,30 hektare. Sementara itu, 42,50 hektare lahan bakal diperuntukan bagi jalan akses yang lokasinya berada di Desa Guntur, Desa Karangsari, Desa Bener, Desa Kedung Loteng, juga di Desa Wadas.
Batu andesit yang tersimpan di Desa Wadas diperkirakan mencapai 41 juta meter kubik. Lokasinya yang berdekatan dengan proyek Bendungan Bener, sekitar 10-12 kilometer, membuat pemerintah melirik opsi penambangan dengan teknik blasting di Desa Wadas.
Himawan Kurniadi, Ketua Advokasi dan Kawasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, menyoroti teknik penambangan batu andesit di Desa Wadas.
“Itu kan dikeruk terus tanahnya dikembalikan. Dari situ tidak terjawab apakah kemudian tanahnya akan sama seperti dulu. Kedua, yang lebih menjadi masalah. Alas haknya itu kan lepas, sudah bukan jadi hak warga ketika menyerahkan tanahnya. Artinya, yang tadinya mereka secara berdaulat mengurus tanahnya sendiri ya kalau nanti mereka akan lepas itu sudah bukan hak milik mereka,” jelasnya.
Jadi Petaka Wadas di Masa Mendatang
Selain mengganggu produktivitas warga, rencana penambangan juga meningkatkan risiko terjadinya bencana alam di Desa Wadas. “Kemungkinan bisa longsor, banjir di bawah [bukit yang ditambang] juga pasti karena tidak ada serapan. Paling seperti itu,” jelas Himawan saat ditemui Bisnis.
Himawan juga mengungkapkan bahwa rencana penambangan bakal mengganggu pasokan air bersih bagi warga. Setidaknya, dari penelusuran Walhi Yogyakarta, ada 27 mata air yang hingga kini masih digunakan warga dan bakal terdampak rencana penambangan. Lokasinya berada di atas bukit yang bakal ditambang. Bahkan, Himawan memperkirakan jumlahnya bisa lebih banyak daripada itu, karena masih ada beberapa mata air yang belum terdata dan memang tidak dimanfaatkan.
“Mereka ini [warga Desa Wadas] dari dulu soal air gratis. Mereka memanfaatkan dari sumber air yang ada. Otomatis kalau itu rusak, akan ada cost lagi yang kemudian mereka harus memikirkan [untuk membeli] air,” tambahnya.
Pemerintah diminta untuk mengkaji ulang rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas. Pasalnya, menurut Himawan, masih ada opsi lain untuk mendukung pengadaan material pembangunan proyek Bendungan Bener. Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan Proyek Bendungan Bener, selain Desa Wadas, setidaknya masih ada tiga lokasi alternatif penambangan batu andesit. Salah satunya di Gunung Wareng yang berlokasi di Desa Kedung Loteng, Kecamatan Bener. Bahkan, lokasi tersebut berjarak lebih dekat dari lokasi bendungan, hanya 9,50 kilometer.
Estimasi cadangan batu Andesit di Desa Kedung Loteng memang hanya berkisar di 4,50 juta meter kubik. Namun, untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 12 juta meter kubik material berupa batu andesit, pemerintah sebetulnya bisa saja menambang di Desa Guyangan, Kecamatan Loano. Sebab, di lokasi tersebut, terdapat cadangan kurang lebih 58 juta meter kubik batu andesit. Jauh lebih kaya ketimbang Desa Wadas.
“Kami masih meyakini proyek ini [penambangan di Desa Wadas] bermasalah dari awal. Dari segi kebijakannya, syarat aturannya, terus dari segi jalannya mereka mengkomunikasikan rencana proyek ke warga. Itu sudah bermasalah semua dari awal. Kalau menurut kami, ya sangat layak kasus Wadas ini untuk dihentikan. Minimal dikaji ulang, utamanya masalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),” jelas Himawan.
Hal yang lain yang juga disoroti Himawan adalah tidak dikantonginya Izin Usaha Penambangan (IUP) oleh pemerintah. IUP tersebut padahal punya peran penting, setidaknya secara legal formal, dalam rencana penambangan di Desa Wadas.
“Kok bisa kegiatan menambang tetapi skemanya pengadaan tanah? Mereka (pemerintah) beralasan ini include untuk proyek Bendungan Bener, tapi kan tidak bisa seperti itu. Kalau tetap berjalan penambangan tanpa IUP, maka jadinya tambang ilegal yang dijalankan negara,” pungkasnya.