Bisnis.com, SEMARANG - Pemerintah menargetkan swasembada gula konsumsi nasional bisa terwuju pada 2026 nanti. Untuk mewujudkan target itu, diperlukan sinergi dan kolaborasi antar banyak pihak. Tak terkecuali dari pabrik gula (PG) milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Soemitro Samadikun, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), berharap agar PG milik BUMN bisa menjalin kemitraan dengan petani tebu. Pasalnya, petani tak bisa sendirian dalam meningkatkan produktivitas lahannya.
"Kebanyakan karakter petani itu kalau dia punya duit, untung pun, ya lebih baik untuk belanja produksi. Oleh sebab itu, menanamnya hanya bibit-bibit unggulan tertentu. Kalau bicara kebutuhan traktor misalnya, kita butuh banyak. Kalau diserahkan ke petani sendiri ya tekor, berat lah," jelas Soemitro saat dihubungi Bisnis, Jumat (16/9/2022).
Soemitro berharap agar pemerintah bisa memperhatikan kondisi petani tebu rakyat, khususnya di daerah. Pasalnya, hari ini, petani-petani tebu rakyat kian terimpit biaya perawatan lahan. Belum lagi, kenaikan harga bahan pokok yang secara tidak langsung ikut membebani petani.
"Petani kita ini kan juga manusia biasa. dia tetap butuh makan, minum, dan butuh yang lain-lain. Sayangnya, tidak pernah disebut seperti apa kebutuhan hidup layak, biasanya hanya untuk buruh. padahal petani juga butuh. Kebutuhan itu setiap tahun naik, kalau tidak diikuti dengan kemampuan atau daya bayar untuk pengelolaan kebun, tinggal dipilih mana yang akan ditinggalkan. Ujung-ujungnya, produktivitasnya pasti tidak akan maksimal," jelas Soemitro.
Sebelumnya, petani tebu di Kabupaten Pati menyebut kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi berimbas pada naiknya ongkos buruh penggarap lahan. Kenaikan itu dilaporkan bisa mencapai puluhan ribu rupiah per buruh per harinya.
Petani akhirnya memutar akal. Lahan yang dulunya digarap dengan tenaga mesin secara perlahan digantikan oleh mesin-mesin yang disewa. Begitu pula pupuk, yang dulunya dapat dijangkau karena masih disubsidi pemerintah, kini petani terpaksa memanfaatkan pupuk organik buatan sendiri.
Soemitro menyebut wacana swasembada gula konsumsi itu harusnya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas lahan tebu yang sudah ada. Caranya, dengan meringankan beban biaya yang mesti ditanggung petani.
Pemerintah juga bisa membangun pabrik-pabrik gula baru. "Tapi di lokasi yang petaninya secara historis sudah punya pengalaman menanam tebu. Seperti di Batang dan Pekalongan, itu di pinggir tol banyak tanaman tebu. Kenapa tidak lahan seperti itu yang ditingkatkan produktivitasnya?," ucap Soemitro.
Soemitro Samadikun, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), berharap agar PG milik BUMN bisa menjalin kemitraan dengan petani tebu. Pasalnya, petani tak bisa sendirian dalam meningkatkan produktivitas lahannya.
"Kebanyakan karakter petani itu kalau dia punya duit, untung pun, ya lebih baik untuk belanja produksi. Oleh sebab itu, menanamnya hanya bibit-bibit unggulan tertentu. Kalau bicara kebutuhan traktor misalnya, kita butuh banyak. Kalau diserahkan ke petani sendiri ya tekor, berat lah," jelas Soemitro saat dihubungi Bisnis, Jumat (16/9/2022).
Soemitro berharap agar pemerintah bisa memperhatikan kondisi petani tebu rakyat, khususnya di daerah. Pasalnya, hari ini, petani-petani tebu rakyat kian terimpit biaya perawatan lahan. Belum lagi, kenaikan harga bahan pokok yang secara tidak langsung ikut membebani petani.
"Petani kita ini kan juga manusia biasa. dia tetap butuh makan, minum, dan butuh yang lain-lain. Sayangnya, tidak pernah disebut seperti apa kebutuhan hidup layak, biasanya hanya untuk buruh. padahal petani juga butuh. Kebutuhan itu setiap tahun naik, kalau tidak diikuti dengan kemampuan atau daya bayar untuk pengelolaan kebun, tinggal dipilih mana yang akan ditinggalkan. Ujung-ujungnya, produktivitasnya pasti tidak akan maksimal," jelas Soemitro.
Sebelumnya, petani tebu di Kabupaten Pati menyebut kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi berimbas pada naiknya ongkos buruh penggarap lahan. Kenaikan itu dilaporkan bisa mencapai puluhan ribu rupiah per buruh per harinya.
Petani akhirnya memutar akal. Lahan yang dulunya digarap dengan tenaga mesin secara perlahan digantikan oleh mesin-mesin yang disewa. Begitu pula pupuk, yang dulunya dapat dijangkau karena masih disubsidi pemerintah, kini petani terpaksa memanfaatkan pupuk organik buatan sendiri.
Soemitro menyebut wacana swasembada gula konsumsi itu harusnya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas lahan tebu yang sudah ada. Caranya, dengan meringankan beban biaya yang mesti ditanggung petani.
Pemerintah juga bisa membangun pabrik-pabrik gula baru. "Tapi di lokasi yang petaninya secara historis sudah punya pengalaman menanam tebu. Seperti di Batang dan Pekalongan, itu di pinggir tol banyak tanaman tebu. Kenapa tidak lahan seperti itu yang ditingkatkan produktivitasnya?," ucap Soemitro.