Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelemahan Manufaktur dan Isu PHK Membayangi Jateng

Isu gelombang PHK santer terdengar seiring dengan pelemahan kinerja manufaktur di Jawa Tengah. 1.300-an pekerja di Brebes sempat di-PHK.
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga./Bisnis-Abdullah Azzam
Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, SEMARANG — Gonjang ganjing kondisi manufaktur di Jawa Tengah kian santer terdengar. Mulanya, sinyal pelemahan muncul dari meredupnya permintaan impor Jawa Tengah yang didominasi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan penolong, dimana kedua kelompok itu menyumbang 89,69 persen keseluruhan impor provinsi ini.

Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat nilai impor Jawa Tengah pada periode tersebut mengalami penurunan di angka 7,71 persen secara month-to-month (mtm) atau 10,98 persen secara year-on-year (yoy). Adapun nilai impor Jawa Tengah berada di angka US$1.102,88 juta.

Belakangan, indikasi pelemahan kinerja manufaktur mulai terlihat dengan isu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi. Di Kabupaten Brebes, PHK dilakukan PT Panarub Industry untuk mengurangi beban operasional perusahaan. Produsen sepatu Adidas itu mengaku mesti mengambil keputusan berat itu lantaran penurunan permintaan yang terjadi secara global. "Maka PT Panarub harus mengurangi karyawan," kata Direktur PT Panarub Industry, Budiarto Tjandra saat dihubungi, Senin (16/1/2023).

Warsito Eko Putra, Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Brebes, menyebut meskipun langkah PHK terpaksa diambil perusahaan namun secara umum kondisi ketenagakerjaan di wilayah itu masih belum banyak terpengaruh. Sebab, dari 1.300-an karyawan yang di-PHK, sebagian besar dilaporkan sudah mendapat pekerjaan baru di perusahaan lain yang sama-sama berlokasi di Kabupaten Brebes. "Karyawannya cuma pindah," katanya saat ditemui Bisnis di Kota Semarang, Kamis (19/1/2023).

Eko melanjutkan, meskipun mendapat sedikit guncangan pada awal tahun 2023 ini, namun Kabupaten Brebes masih optimis bisa menjaring lebih banyak investor pada sektor manufaktur untuk masuk ke wilayah tersebut.

"Perkembangan tahun ini bagus. Sudah ada investor yang mau masuk, kemarin baru ada paparan ada perusahaan yang mau buat kawasan industri lagi, di situ juga ada perumahan. Tinggal mengikuti kelanjutannya saja. Jadi potensi untuk Brebes masih bisa naik, karena daya tarik utamanya itu di Upah Minimum Kabupaten (UMK). Kalau dibanding Kota Semarang, masih jauh lah," jelas Eko.

Sebagai informasi, sektor manufaktur Kabupaten Brebes sendiri hingga saat ini didominasi oleh investor Penanaman Modal Asing (PMA) dengan produk berorientasi ekspor. Tentunya, pelemahan permintaan mancanegara bakal memberikan pengaruh pada kondisi manufaktur di wilayah itu.

Tak hanya di Kabupaten Brebes, pelemahan permintaan dari luar negeri juga berimbas pada sektor manufaktur di Kabupaten Kudus. Namun demikian, Rini Kartika Hadi Ahmawati, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi, dan Usaha Kecil dan Menengah (Disnakerperinkop-UKM) Kabupaten Kudus, mengungkapkan bahwa kondisi itu belum sampai menimbulkan PHK di wilayah tersebut.

"Untuk [perusahaan] PMA yang produksi support alas kaki, walau order memang menurun tetapi sampai saat ini tidak ada PHK. Karena dari awal pekerjanya hanya sedikit," jelas Rini. Lebih lanjut, penurunan permintaan itu juga berimbas pada pengurangan jam kerja karyawan di Kabupaten Kudus. "Kalau dulu setiap hari lembur, maka sekarang tidak ada lembur," tambahnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Jawa Tengah, Frans Kongi, mengakui bahwa pelemahan permintaan dari luar negeri dialami hampir seluruh pelaku usaha di Jawa Tengah. Untuk menanggulangi hal tersebut, pengusaha yang tergabung dalam Apindo juga sudah menyiapkan strategi tersendiri.

"Dulu kita cari pasar luar, tapi sekarang kita coba manfaatkan pasar dalam negeri. Sampai sekarang, daya beli masyarakat masih oke. Meskipun tidak terlalu meninggi, tapi masih cukup baik sehingga perusahaan-perusahaan ini masih bisa tetap bertahan," jelas Frans melalui sambungan telepon.

Sebelumnya, Frans mengungkapkan bahwa kinerja manufaktur di Jawa Tengah sempat menurun di awal pandemi Covid-19. Pada saat itu, kapasitas produksi hanya tercatat di angka 20-30 persen. Namun, kondisi itu kini coba digenjot kembali.

Apindo Jawa Tengah sendiri memperkirakan bahwa pemulihan kinerja manufaktur di wilayah tersebut bakal terjadi pada Maret 2023 mendatang. "Harapan kita begitu. Perkiraan kita akhir Kuartal I/2023 ini. Memasuki Kuartal II/2023 kita sudah kembali seperti normal," jelasnya.

Bukan tidak mungkin, jika pemulihan itu benar-benar terjadi, para karyawan yang hari ini dirumahkan untuk sementara, atau bahkan di-PHK bakal kembali masuk pabrik. "Ketika order kembali naik bisa dipekerjakan kembali," ucap Frans.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper