Bisnis.com, SOLO - Keistimewaan Jogjakarta menjadi perbincangan publik setelah disinggung oleh Ade Armando di media sosial.
Politikus PSI itu sebelumnya mengatakan bahwa keberadaan politik dinasti yang sesungguhnya berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Ini ironis sekali karena mereka sedang berada di wilayah yang jelas-jelas menjalankan politik dinasti dan mereka diam saja. Anak-anak BEM ini harus tahu dong. Kalau mau melawan politik dinasti, ya politik dinasti sesungguhnya adalah Daerah Keistimewaan Yogyakarta," ucapnya dalam video yang dibagikannya pada beberapa waktu lalu.
Ade Armando mengkritik tentang proses Pemilu di Yogyakarta yang tidak sama dengan banyak wilayah di Indonesia lainnya.
Baca Juga
Di Yogya, tidak ada pemilihan Gubernur lima tahun sekali sebab satu-satunya yang berhak menjadi Gubernur adalah raja.
"Gubernurnya tidak dipilih melalui Pemilu. Gubernurnya adalah Sultan Hamengku Buwono X yang telah menjadi Gubernur karena garis keturunan," tambah Ade Armando.
Sejarah Keistimewaan Jogjakarta
Keistimewaan Jogja yang tidak mengadakan Pemilu setiap 5 tahun sekali ini ternyata diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Dalam bab VI pasal 18 UU No 13, disebutkan bahwa gubernur atau kepala daerah Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono. Sementara, wakil gubernur Yogyakarta adalah Adipati Paku Alam.
Menilik dari sejarahnya, keberadaannya DIY dimulai dari sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan Perjanjian Giyanti 1755.
Kemudian muncul sistem pemerintahan yang teratur dan kemudian berkembang, hingga akhirnya sebagai DIY yang merupakan suatu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada masa kolonial Belanda, pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta diatur kontrak politik yang dilakukan pada 1877, 1921, dan 1940, antara Sultan dengan Pemerintah Kolonial Belanda.
Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai kerajaan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri. Hal ini dikenal dengan istilah zilfbesturende landschappen.
Kontrak politik terakhir Kasultanan Ngayogyakarta tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Kadipaten Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.
Tak hanya di pemerintahan Belanda, Jogja juga masih diakui sebagai Daerah Istimewa atau Kooti pada masa pendudukan Jepang.
Dalam sejarahnya, Jogja dipimpin oleh Koo sebagai kepalanya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di bawah Kooti, secara struktural ada wilayah-wilayah pemerintahan tertentu dengan para pejabatnya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Hal tersebut dinyatakan dalam:
1. Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI;
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September1945;
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober1945
Lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan respons atas eksistensi DIY dan juga merupakan pengakuan kewenangan untuk menangani berbagai urusan dalam menjalankan pemerintahan serta urusan yang bersifat khusus.
Undang-Undang ini telah diubah dan ditambah, terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku.
Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa DIY merupakan daerah setingkat provinsi dan meliputi bekas daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman.
Kemudian dalam rangka perubahan dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 13/2012 Tentang Keistimewaan DIY yang disahkan 31 Agustus 2012 dan diundangkan pada tanggal 3 September 2012.
Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhineka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten. Khususnya dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
Pengaturan tersebut berlandaskan atas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, kebhineka-tunggal-ika-an efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintah provinsi.
Kewenangan dalam urusan Kestimewaan seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Pasal 7 ayat 2 meliputi : tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan; pertanahan; dan tata ruang.
Atas dasar UU itulah kemudian Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tanpa melalui pemilu melainkan dengan proses penetapan.