Bisnis.com, SEMARANG - Pj. Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, menyebut sejumlah indikator sosial-ekonomi di Jawa Tengah menunjukkan pertumbuhan positif. Angka kemiskinan pada 2024 berada di posisi 10,47%, turun dibanding 2023 yang mencapai 10,77%.
Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2024 berada di angka 4,39% atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
"Pengentasan kemiskinan berjalan baik, khususnya kemiskinan ekstrem. Angka pengangguran dalam satu tahun juga menurun. Ini sesuatu yang sangat positif bagi masyarakat Jawa Tengah, dalam upaya kami terus menekan angka kemiskinan sampai sekecil mungkin," ucap Nana saat ditemui wartawan di Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) pada Senin (30/9/2024).
Ucapan tersebut memang terdengar manis. Sayangnya, klaim tersebut berbanding terbalik dengan data Kementerian Ketenagakerjaan. Sepanjang periode Januari-Agustus 2024, tercatat ada 14.712 pekerja di Jawa Tengah yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat tren kenaikan jumlah pekerja yang ter-PHK. Ada puluhan orang yang setiap bulannya mesti kehilangan pekerjaan pada periode Januari-Maret.
Gelombang PHK berangsur membengkak pada April dimana jumlah pekerja yang ter-PHK berkisar di angka ratusan.Pada Juli 2024, tercatat 9.447 pekerja di Jawa Tengah kehilangan pekerjaan.
Baca Juga
Periode tersebut menciptakan peningkatan terbesar gelombang PHK di Jawa Tengah sepanjang tahun ini.Aulia Hakim, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Provinsi Jawa Tengah, menyebut fenomena tersebut sebagai bukti gagalnya iming-iming upah murah dalam menjamin penyerapan tenaga kerja.
Kepada Bisnis, Aulia menyebut bahwa PHK masih terjadi pada sektor industri manufaktur, utamanya Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)."PHK massal di Jawa Tengah membuktikan bahwa kebijakan upah murah adalah solusi yang keliru. Meskipun upah di provinsi ini lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, ternyata tidak ada jaminan bahwa pekerja di sini akan terlindungi dari gelombang PHK," ucap Aulia saat dihubungi beberapa waktu lalu.Gelombang PHK juga ikut menyisakan persoalan lain.
Seperti nasib buruh yang terkatung-katung lantaran perusahaan kerap menunda pembayaran pesangon maupun gaji. Bahkan, tak sedikit pula pekerja yang ter-PHK itu mesti menunggu kepastian pesangon hingga bertahun-tahun.