Bisnis.com, SEMARANG—Bupati nonaktif Klaten Sri Hartini mengungkapkan adanya upaya melengserkan dirinya melalui kasus jual beli jabatan serta potongan "fee" atas dana bantuan keuangan desa di kabupaten tersebut yang diungkap KPK.
Hal tersebut diungkapkan terdakwa melalui pembelaan yang disampaikan penasihat hukumnya saat sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (6/9/2017). Namun, Penasihat hukum terdakwa Deddy Suwadi tidak menjelaskan secara detil pihak-pihak yang dimaksud dalam pembelaan tersebut.
Ia mengatakan kliennya sama sekali tidak pernah berpikir atau berniat menerima suap, gratifikasi ataupun melakukan korupsi.
"Peristiwa itu terjadi karena pengaruh dari orang-orang di sekitar terdakwa yang belakangan diketahui memiliki agenda tertentu untuk melengserkan terdakwa dari jabatan Bupati Klaten," katanya.
Sejak awal sidang, lanjut dia, terdakwa telah mengakui kesalahan dan kekhilafannya karena telah mengikuti kebiasaan buruk dalam pengelolaan pemerintahan di Klaten.
"Terdakwa masuk dalam lingkaran tradisi buruk yang berakhir tragis," tambahnya.
Meski demikian, lanjut dia, berdasarkan fakta persidangan diketahui terdakwa tidak pernah menginisiasi permintaan atau pemberian uang syukuran terkait pengisian jabatan tersebut.
Selain itu, terdakwa juga tidak pernah menentukan besaran uang syukuran untuk pengisian jabatan-jabatan itu.
Sementara itu, Sri Hartini dalam pembelaan pribadinya mengungkapkan mengakui kesalahan dan meminta hukuman seringan-ringannya.
Ia mengaku tidak bisa terhindar dari lingkungan buruk budaya korupsi yang sudah terjadi Pemerintah Kabupaten Klaten.
"Saya tidak bisa menolak kebiasaan yang berlaku selama ini," ucapnya, berdalih.
Bupati yang baru menjabat selama 10 bulan itu juga menyatakan kesanggupannya membantu KPK untuk membongkar kasus korupsi di Pemerintah Kabupaten Klaten.
Sebelumnya, Bupati nonaktif Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini dituntut 12 tahun penjara dalam kasus jual beli jabatan serta potongan "fee" atas dana bantuan keuangan desa di kabupaten tersebut.
Selain itu, jaksa juga menuntut terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar. Terdakwa dinilai terbukti melanggar dua dakwaan alternatif yang ditujukan kepadanya.