Bisnis.com, JAKARTA – Sepanjang 2017, kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai sangat baik. Ini terlihat dari turunnya titik kebakaran hutan yang sangat signifikan dan juga pelaksanaan hutan sosial atau hutan untuk kepentingan masyarakat.
Selain itu, sikap tegas menteri dan jajaran KLHK dalam menata hutan dan lingkungan perlu diapresiasi, meskipun harus melawan para raksasa yang selama puluhan tahun menikmati hasil hutan dan enggan untuk dikoreksi.
Penilaian tersebut disampaikan pegiat lingkungan hidup yang juga Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor Bambang Hero secara terpisah, Selasa (26/12/2017).
Chalid Muhammad mengatakan secara objektif dirinya melihat bahwa capaian KLHK selama 2017 dan juga ketika Kabinet ini mulai bekerja akhir 2014, trennya cukup baik.
“Jika melihat dari satu aspek saja yakni kebakaran hutan, kita bisa membandingkan angka yang mencolok. Titik kebakaran hutan selama 2016-2017 turun drastis 90% dari tahun sebelumnya, 2015-2016,” katanya.
Dia juga melihat capaian lain yakni pemanfaatan hutan untuk rakyat yang sebelumnya sulit dilaksanakan, di masa Menteri Siti Nurbaya, hal itu bisa direalisasikan dengan penerapan konsep hutan sosial atau hutan untuk masyarakat.
Dalam konsep ini, rakyat boleh memanfaatkan hutan. Pada saat bersamaan, rakyat juga dididik untuk bisa melindungi hutan sebagai sumber kehidupan.
“Untuk saat ini baru tercapai sekitar 2 juta hektare dari target Kementerian LHK sebesar 12,7 juta hektare. Konsep hutan sosial ini harus kita dukung agar keadilan dalam pemanfaatan hutan bisa dicapai,” ujar Chalid.
Penegasan senada dikemukakan Guru Besar IPB Bambang Hero yang mengatakan jumlah kejadian dan luas kebakaran hutan dan lahan 2016 dan 2017 turun sangat signifikan dibandingkan dengan tahun 2015.
Kualitas penanganan juga tampak lebih baik ditambah lagi dengan penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tidak hanya diterapkan sanksi pidana dan perdata, tetapi juga sanksi administrasi.
Namun, kata dia, ada beberapa lokasi kebakaran yang potensial tahun ini yang menyumbang titik panas (hotspot) cukup signifikan, seperti di NTT, Papua, dan Sulawesi yang juga menuntut perhatian serius.