Bisnis.com, SEMARANG—Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah (Jateng) pada kuartal II/2018 diprediksi akan terakselerasi dari kuartal sebelumnya. Momentum pilkada serentak dan bulan Ramadhan menjadi pendongkraknya
Dalam laporan Kajian Ekonomi Regional (KEKR) Jawa Tengah yang disusun oleh Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi sepanjang April-Juni 2018 diproyeksikan tumbuh pada kisaran 5,3%-5,7% secara year on year (yoy). Pertumbuhan pada periode tersebut tercatat lebih tinggi dari kuartal I/2018 yang diprediksi mencapai 5,1%- 5,5%.
“Peningkatan ini sesuai dengan pola musiman saat bulan Ramadan dan Idul Fitri, ditambah dengan pengaruh Pilkada serentak yang berlangsung pada Juni 2018,” seperti dikutip dari laporan KEKR Jateng, Senin(16/4).
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa dari sisi pengeluaran, akselerasi konsumsi rumah tangga, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT), dan ekspor luar negeri juga menjadi sumber meningkatnya pertumbuhan di triwulan II/2018.
Sementara pada sisi lapangan usaha, peningkatan diperkirakan terjadi pada lapangan usaha industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran. Sementara itu, pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan melambat.
Selain itu, perekonomian domestik yang diperkirakan terus membaik akan mendorong daya beli dan konsumsi rumah tangga. Perbaikan ekonomi global, terutama mitra dagang utama Jateng diperkirakan meningkatkan kegiatan usaha.
Baca Juga
“Daya beli masyarakat yang relatif terjaga juga diperkirakan berdampak pada peningkatan kinerja konsumsi,” tulis laporan tersebut.
Di sisi lain, inflasi tahunan pada kuartal/II 2018 diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat pada periode hari raya keagamaan dan pemilihan umum kepala daerah. Inflasi diperkirakan masih berada pada target sasaran inflasi 3,5±1%.
Faktor utama yang diperkirakan mendorong inflasi terutama berasal dari kelompok volatile food yang diperkirakan akan meningkat lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2018 serta periode yang sama pada tahun 2017.
Kenaikan juga diperkirakan terjadi untuk kelompok inti di tengah membaiknya daya beli masyarakat serta tekanan nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter Amerika Serikat diperkirakan akan mendorong arus modal keluar dari dalam negeri, sehingga meningkatkan risiko nilai tukar yang selanjutnya berdampak pada inflasi kelompok inti barang yang diperdagangkan.
Adapun inflasi kelompok administered prices diperkirakan akan tetap terjaga rendah, sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk menunda penyesuaian kebijakan energi.
Dalam hal ini, BI berharap koordinasinya dengan kebijakan Pemerintah dalam pengendalian inflasi perlu terus diperkuat terutama dalam menghadapi sejumlah risiko terkait penyesuaian administered prices sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi oleh Pemerintah, dan risiko moderat kenaikan harga volatile food.