Bisnis.com, SEMARANG – Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menilai perlu terobosan dalam percepatan pembebasan lahan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang.
Ketua DPRD Jateng Rukma Setyabudi menuturkan, investor dalam hal ini PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dituntut transparan kepada masyarakat sekitar terkait pembebasan. Pasalnya, sampai saat ini pembebasan lahan masih mengalami banyak kendala.
"Dewan di sini menjembatani pesoalan, maka cari solusi terbaik bagi semua pihak, agar pemilik lahan bisa terakomodir kepentingannya dan bimasena PLTU bisa berjalan dengan semestinya," kata Rukma, Kamis (4/10/2018).
Kepala Kepala Bidang Pengawasan dan Penanaman Modal DPMPTSP Jateng, Didik Subiyantoro mengatakan, proyek PLTU ini merupakan proyek pemerintah. Namun, karena keuangan pemerintah yang tidak ada, maka dibutuhkan pihak swasta untuk kerja sama.
"Mekanisme yang demikian diperintahkan beberapa tahun ini dan pemerintah menjamin pembelian dari hasil listrik yang ada. Maka dari itu tiga tahun yang lalu pemerintah kerja sama dengan swasta. Bhimasena masuk untuk membiayai pendanaan dan pemerintah yang mengadakan listriknya sehingga PLN masuk untuk membeli," ujarnya.
Sementara itu, Hanifan selaku perwakilan dari masyarakat Batang mengatakan bahwa masih ada beberapa masyarakat yang belum berkenan jika tanah dibangun PLTU.
Masyarakat sekitar ingin mengetahui pembangunan ini statusnya proyek pemerintahan atau swasta. Dan masyarakat ingin adanya keterbukaan dalam jual beli lahan.
"Jika pembangunan PLTU Batang termasuk proyek pemerintahan, kami ingin keterbukaannya dalam penjualannya. Karena kami merasa ini ada yang tidak beres, kami sudah bertekad melakukan langkah-langkah yang selama ini belum dilakukan. Kalau memang ingin dibeli ya dibeli sekalian namun yang bermartabat namun tidak ada keadilan," ucap dia.
Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang ditargetkan beroperasi pada 2020, hingga kini belum sepenuhnya terbebas dari masalah, terutama menyangkut proses ganti rugi lahan masyarakat terdampak.
Meskipun Pengadilan Negeri Kabupaten Batang telah melakukan eksekusi lahan milik warga terdampak melalui konsinyasi, hingga kini ada sekitar 74 bidang lahan PLTU yang masih bermasalah karena warga tidak mau menerima uang ganti rugi.
Proyek pembangunan PLTU Batang menempati lokasi di tiga desa di Kecamatan Tulis dan Kandeman, yaitu Desa Karanggeneng, Ujungnegoro, serta Ponowareng.
Akan tetapi, akibat adanya masalah pembebasan lahan milik warga seluas 12,5 hektare dari 226 hektare yang dibutuhkan oleh PLTU itu, maka waktu pekerjaan pembangunan ketenagalistrikan terbesar se-Asia Tenggara itu menjadi molor.
Konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang di dalamnya terdapat Adaro, Itochu, dan J. Power sebagai pengembang proyek PLTU Batang, kini terus mengebut pengerjaan pembangunan fasilitas ketenagalistrikan di daerah tersebut.