Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Warga Desa Kaliprau Berharap Industrialisasi Melati

Usaha rumahan yang dimiliki warga tersebut sudah melayani permintaan dari luar negeri.
Ilustrasi. Sejumlah pekerja membersihkan bunga melati di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah./Antara-Oky Lukmansyah
Ilustrasi. Sejumlah pekerja membersihkan bunga melati di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah./Antara-Oky Lukmansyah

Bisnis.com, SEMARANG - Budi daya tanaman melati sudah bukan hal yang baru lagi bagi Warga Desa Kaliprau, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang. Meskipun tak sedikit petani yang menggarap ladang padi, sebagian besar warga desa tersebut justru menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan melati yang dimiliki.

“Untuk melati, sudah dari nenek moyang, artinya sudah dari zaman dahulu. Sudah mendarah daging di Kaliprau sebagai sumber ekonomi. [Bahkan, ada perumpamaan] dimana ada melati, di situ pasti ada orang Kaliprau. Karena ketika mereka ekspansi ke daerah lain, kebanyakan dia kalau gak berdagang itu bercocok tanam dengan melati,” jelas Purwadi, Kepala Desa Kaliprau ketika dihubungi Bisnis pada Senin (15/11/2021).

Purwadi mengungkapkan bahwa masyarakat Desa Kaliprau lebih memilih merawat melati ketimbang jenis tanaman lain. Salah satu alasannya adalah perawatannya yang minim, bahkan jenis tanaman tersebut dinilai sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Melati yang dimiliki warga Desa Kaliprau kebanyakan dibudi dayakan dengan cara stek. Batang sepanjang 25 centimeter ditanam pada saat musim penghujan. Biasanya, dalam waktu 5 bulan, melati sudah siap untuk dipanen.

“Kalau orang sini, biasanya [saat] kita tanam melati, sambil menunggu 5 bulan kita tumpang sari dengan lombok (cabai) dan kacang panjang. Itu istilahnya untuk penghasilan sehari-hari lah. Sembari menunggu melati panen. Ketika ditanam tanpa tumpang sari pun, masa panennya bisa lebih cepat. 3-4 bulan sudah bisa dipanen,” jelas Purwadi.

Tanaman melati sendiri akan ditanam di lahan pribadi milik warga. Tanahnya bakal dijaga agar tetap kering, supaya mendukung pertumbuhan melati. Karena jenis tanah yang terlalu basah akan mengganggu pertumbuhan melati.

Setelah berusia 5 bulan, setiap harinya warga akan memanen bunga melati yang masih kuncup. Pemanenan biasanya dilakukan pada pukul 6 pagi. “Nanti jam 10-11 pulang membawa melati berkilo-kilo,” jelas Purwadi.

Tidak ada angka pasti berapa kilogram melati yang bisa dibawa dan dijual warga. Yang jelas, semakin luas lahan yang dimiliki, semakin banyak pula volume melati yang bisa dipetik oleh warga setiap harinya.

Melati dari Desa Kaliprau boleh dibilang punya keunikan tersendiri. “Kami sendiri sebagai petani merasa aneh. Ketika kita ambil bibit dari satu tempat yang sama, kita tanam di Batang, di Kaliprau, di Tegal, itu hasilnya beda semua. Mungkin faktor tanah,” jelas Purwadi.

Purwadi menjelaskan bahwa melati yang ditanam di Desa Kaliprau memiliki warna yang lebih kontras. Kelopak bunga yang putih dengan batang berwarna hijau segar. Bunga melati yang dipanen pun terlihat lebih besar apabila dibandingkan dengan wilayah penghasil melati lainnya di pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa, seperti Batang, Tegal, dan Pekalongan. 

Selain di Kabupaten Pemalang, pembudidayaan melati sendiri sudah banyak dilakukan di wilayah Pantura. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah memperkirakan pada tahun 2020 luas perkebunan melati di wilayah tersebut mencapai 1069 hektare (ha). Dari luas lahan tersebut, lokasi perkebunan kebanyakan berada di Purbalingga, Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Tegal.

Kabupaten Purbalingga dilaporkan memiliki lahan perkebunan melati seluas 4,3 ha. Angka tersebut masih belum seberapa jika dibandingkan dengan sentra penghasil melati lainnya. Di Pekalongan misalnya, BPS Provinsi Jawa Tengah mencatat luas perkebunan melati pada tahun 2020 mencapai 85 ha. Sementara itu, di 3 daerah lainnya, luasan lahan bahkan mencapai ratusan hektare. Kabupaten Pemalang sendiri menjadi sentra melati dengan lahan perkebunan terluas, 402,63 ha pada tahun 2020. Disusul Batang dan Tegal masing-masing 276 ha dan 293 ha.

Permintaan melati sendiri datang dari pabrik-pabrik teh di sekitar Pantura. “Di Tegal dan Pekalongan itu ada pabrik teh. Tapi penyuplainya dari Kaliprau,” jelas Purwadi.

Melati juga banyak dicari sebagai pelengkap upacara adat ataupun keagamaan. Tak heran apabila warga Desa Kaliprau kerap mengirimkan melati hingga ke kota-kota besar seperti Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, hingga Jakarta.

“Untuk pengiriman ke luar negeri, [biasanya] dalam bentuk bahan baku, larinya ke hotel atau untuk pemujaan. Karena kebanyakan pesan dari Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan Thailand, dimana banyak orang India dan China,” jelas Purwadi.

Dengan peluang tersebut, Pemerintah Kabupaten Pemalang tengah berupaya untuk mendatangkan investor ke wilayah tersebut. Harapannya, bahan baku berupa melati yang melimpah tersebut bisa diolah menjadi minyak sari atau essence yang banyak digunakan dalam industri parfum.

“Dengan keberadaan penyulingan melati ini, Pemalang akan meningkatkan nilai tambah produk dibandingkan dengan penjualan ekspor dalam bentuk bunga segar,” jelas Mukti Agung Wibowo, Bupati Pemalang, beberapa waktu lalu.

Mukti memperkirakan bahwa setiap tahunnya permintaan minyak melati bisa mencapai 2.480 ton. BPS Provinsi Jawa Tengah sendiri mencatat pada 2019 volume produksi melati di Pemalang mencapai 2.176 ton. Sementara pada tahun 2020, volume produksinya bertambah 2 kali lipat hingga 4.024 ton. Dari angka tersebut, Mukti memperkirakan bahwa setiap tahunnya 3.066 ton minyak melati bisa dihasilkan Kabupaten Pemalang.

“Kita punya tenaga kerja yang cukup besar dan area [produksi] yang cukup besar. Kami akan budidaya melati secara intensif,  sehingga ada peningkatan hasil bunga melati dibandingkan yang sekarang ini,” ucap Mukti dalam Talkshow Proyek Investasi Jawa Tengah yang jadi rangkaian Central Java Investment and Business Forum (CJIBF) 2021.

Untuk mewujudkan proyek penyulingan melati tersebut, Pemerintah Kabupaten Pemalang membutuhkan suntikan dana Rp28,5 miliar. Dengan bahan baku seharga Rp30.000 per kilogram, investor diperkirakan bakal menikmati payback period selama 3,32 tahun. Sementara itu, Internal Rate of Return (IRR) proyek tersebut diperkirakan mencapai 33,37 persen.

Tentunya, proyek tersebut bakal menjadi angin segar bagi warga Desa Kaliprau. Pasalnya, warga tak perlu pusing mencari pengepul partai besar, apalagi mengumpulkan modal untuk mengolah melati yang telah dipanen. Dengan sentra penyulingan melati tersebut, harga melati yang dijual warga juga bisa lebih stabil. Di saat yang sama, kinerja ekspor Kabupaten Pemalang bakal ikut meningkat. Untuk itu, Bupati membuka pintu selebar-lebarnya bagi calon investor. “Kami akan siapkan lahan dan perizinan akan kita permudah semuanya,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper