Bisnis.com, SEMARANG - Ekonom Universitas Diponegoro, Wahyu Widodo, menyebut perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) secara ideal mesti mempertimbangkan indikator berupa inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Karena sudah meng-cover indikator yang menurunkan daya beli sekaligus indikator progress perekonomian nasional," katanya dikutip Senin (7/11/2022).
Menurut Wahyu, formula perhitungan UMP yang didasarkan pada PP No.36/2021 punya penafsiran yang berbeda jika dibandingkan dengan PP sebelumnya. Dalam regulasi teranyar itu, perhitungan UMP yang dulunya didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi diganti menjadi 'dan/atau'.
"Sehingga memungkinkan hanya satu instrumen. Tentu konsekuensinya kenaikkan akan menjadi jauh berbeda dibandingkan ketentuan sebelumnya," jelas Wahyu saat dihubungi Bisnis.
Terkait tuntutan kelompok buruh Jawa Tengah yang menginginkan kenaikan UMP sebesar 13 persen. Wahyu menyebut hal itu tidak fair dengan kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian dan ancaman resesi yang terjadi. "Pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak akan mencapai 13 persen," tambahnya.
Wahyu menambahkan, wacana perhitungan UMP semestinya konsisten dengan kondisi perekonomian di daerah. "Saat masih menggunakan PP No.78/2015 sebagai dasar, buruh tetap menuntut kenaikan yang terlalu tinggi. Di kala pertumbuhan turun ya harus siap dengan kenaikan yang tidak tinggi," jelasnya.
Sebelumnya, kelompok buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Salah satu tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut adalah terkait kenaikan UMP sebesar 13 persen di tahun 2023 mendatang.
Aulia Hakim, Sekretaris Jenderal KSPI Provinsi Jawa Tengah menyebut tuntutan tersebut cukup beralasan. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah masih mencatatkan kinerja positif.
"Selama ini, Gubernur Ganjar Pranowo dinilai sebagai gubernur yang pro upah murah. Gubernur yang tidak berani menentukan nilai upah yang lebih baik dari ketentuan yang diatur dalam PP No.36/2021," kata Aulia.
Lebih lanjut, kelompok buruh juga menyebut digunakannya PP No.36/2021 merupakan bentuk pelanggaran. Pasalnya, aturan tersebut disandarkan pada Undang Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang berstatus inkonstitusional bersyarat.
"Pernyataan Menteri Tenaga Kerja yang mengatakan PP No.36/2021 tetap akan digunakan dalam menetapkan UMP 2023 adalah pernyataan yang ngawur, pernyataan yang keliru, pernyataan yang bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," tegas Aulia.
UMP Jateng 2023, Ini Indikator Ideal Mengukur Kenaikan
Terkait tuntutan kelompok buruh Jawa Tengah yang menginginkan kenaikan UMP sebesar 13 persen, itu dinilai tidak fair.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : M Faisal Nur Ikhsan
Editor : Miftahul Ulum
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
7 jam yang lalu
Di Balik Aksi Lo Kheng Hong Borong Puluhan Juta Saham PGAS
11 jam yang lalu
Tekanan Berganda Harga Batu Bara dari China
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
11 jam yang lalu
ISAT Perkenalkan IM3 Platinum ke Warga Semarang
16 jam yang lalu
Bank Jateng Dukung Perkembangan Unissra
1 hari yang lalu