Bisnis.com, YOGYAKARTA — Gubernur DIY sekaligus Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X memutuskan tak melepas tanah kasultanan atau sultan ground (SG) dan tanah desa untuk pembangunan sejumlah ruas tol di wilayah DIY.
“Kebijakan Ngarsa Dalem tidak melepaskan kepemilikan sultan ground dan tanah desa untuk proyek nasional jalan tol sudah tepat. Kami mendukung sepenuhnya karena tidak menganggu pelaksanaan proyek nasional. Jalan tol tetap akan bisa dibangun di atas SG maupun tanah desa, hanya statusnya saja tidak kepemilikan tetapi sewa menyewa,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana dalam keterangan tertulis yang dikirim via ponselnya, Jumat (3/2/2023) pagi.
Ia menilai sangat aman bagi pemerintah pusat menggunakan SG maupun TKD untuk jalan tol meski pun tidak dengan memiliki secara langsung. Sultan Ground dan tanah desa sudah diatur dengan undang undang keistimewaan DIY dan juga Perdais no 1 tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
“Dalam Perda tersebut sultan ground bisa dimanfaatkan untuk tiga kepentingan, yaitu untuk pengembangan kebudayaan, sosial dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Selain itu pemanfaatan dan pengelolaan nya berdasar hak asal usul, efektivitas pemerintahan dan kearifan lokal, kata dia, mekanisme pemanfaatannya juga sudah sangat jelas diatur. Memang sebenarnya ada mekanisme pelepasan untuk kepentingan umum, akan tetapi akan sangat merepotkan dan dapat merugikan masyarakat maupun desa.
Dia menilai penggunaan sultan ground tanpa mekanisme pelepasan sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan budaya dan kalurahan. Adanya proyek jalan tol mesti membawa kemanfaatan lebih dan jangka panjang bagi masyarakat DIY, termasuk kepentingan kebudayaan kraton dan kalurahan/desa.
Baca Juga
“Kalau beli putus kemanfaatannya akan kurang dan kalurahan akan sangat kesulitan mencari tanah pengganti, sebagaimana pelepasan TKD yang lalu lalu oleh pemkab. Biasanya uangnya hanya ditaruh rekening di bank bertahun tahun dan susah mencari pengganti senilai, kerena pelepasan TKD harus mencari tanah pengganti,” ujarnya.
Jika sistem sewa dilakukan, kata dia, tidak ada aset yang hilang dan mendapatkan biaya sewa tahunan yang bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan kepentingan kebudayaan. “Jangan lihat saat ini nilainya, tapi 10 atau 20 tahun mendatang, kebijakan ini baru akan terlihat manfaat nyatanya. Artinya kebijakan ini visioner untuk kepentingan desa dan kebudayaan,” katanya.