Bisnis.com, SEMARANG - Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Provinsi Jawa Tengah pada 2024-2026 mematok target pertumbuhan ekonomi 7 persen.
"Kalau pusat bicara tuntaskan kemiskinan, stunting, bangkitkan kembali ekonomi, berarti kita menerjemahkan apa, investasi, penyerapan tenaga kerja, dan itulah yang nanti akan menjadi policy," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam acara Pembukaan Masa Musrenbang Tahun 2023 dan Konsultasi Publik Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2024, awal Februari lalu.
Dalam dokumen yang diterima Bisnis, target capaian pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada 2024 mendatang berkisar di angka 4,70-5,50 persen. Pada 2025 dan 2026, target pertumbuhannya masing-masing berkisar di 4,90-5,6 persen dan 5,0-5,8 persen.
Sumarno, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, menjelaskan RPD tahun 2024-2026 bakal menyasar empat aspek. "Yaitu meningkatkan perekonomian tangguh yang berdaya saing dan berkelanjutan; meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing, berkarakter, dan adaptif; meningkatnya ketahanan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup; juga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang dinamis," jelasnya dalam Forum Perangkat Daerah yang digelar pada Rabu (1/3/2023) pekan lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, distribusi Pertumbuhan Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan dasar harga berlaku di Jawa Tengah masih dirajai oleh sektor usaha industri pengolahan. Sepanjang periode 2010-2022, industri pengolahan menyumbang sekitar 30 persen dari PDRB Jawa Tengah atas dasar harga berlaku.
"Dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebagaimana RPD 2024-2026 bahkan hingga 7 persen, tentu saja dibutuhkan ekstra effort riil dari semua pihak. Baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat," kata Eddy.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, mesti mengambil langkah strategis untuk memperkuat infrastruktur, menumbuhkan industri baru, meningkatkan kualitas SDA, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif. Di sisi lain, Eddy menjelaskan bahwa pihak swasta juga punya peran dalam membuka lapangan kerja baru lewat investasi yang ditanamkan di Jawa Tengah.
"Sedangkan masyarakat perlu ikut serta dalam mendukung program-program pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
Kepala BPS Provinsi Jawa Tengah, Adhi Wiriana, menyebut pertumbuhan ekonomi di kisaran 7 persen bahkan lebih, pernah diraih Jawa Tengah pada pengujung 1990-an. Ketika terjadi krisis pada 1998, perekonomian Jawa Tengah sempat mengalami kontraksi hingga 11 persen. Namun, Adhi menyampaikan, pada 2000 ekonomi Jawa Tengah mengalami rebound yang cukup fantastis.
"Sayangnya, kemarin kita sudah mengalami Covid-19. Artinya pertumbuhan juga relatif menurun, negatif. Tetapi turunnya kurang jauh, cuma minus 2 persen. Sehingga untuk mencapai 7 persen juga kelihatannya masih perlu effort," jelasnya.
Senada dengan Eddy, Adhi menyebut ada empat sektor usaha yang dominan pada struktur ekonomi Jawa Tengah. "Empat sektor usaha ini harus bisa dipacu maksimal, karena akan membawa gerbong sektor-sektor usaha lain yang juga berperan terhadap perekonomian Jawa Tengah," ucapnya.
Lebih lanjut, aspek input-output manufaktur juga perlu mendapat perhatian. Dari sisi input, misalnya, Adhi menjelaskan bahwa sebagian besar industri manufaktur di Jawa Tengah masih bergantung pada pasokan bahan baku impor. "Termasuk industri pakan ternak yang ada di Jawa Tengah, juga impor dari negara lain. Inilah yang kalau perlu percepatan ke 7 persen, salah satunya bagaimana supaya bahan bakunya bisa disubtitusi. Tidak perlu impor dari luar negeri, tapi cukup dari dalam negeri," jelasnya.
Di sisi lain, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, keempat sektor usaha itu menurut Adhi perlu menjangkau pasar yang lebih luas lagi. Pasalnya, ekspor produk unggulan Jawa Tengah masih menyasar pada tiga negara besar yaitu China, Amerika Serikat, dan Jepang.
Terkendala Daya Dukung
Kepala BPS Provinsi Jawa Tengah, Adhi menjelaskan masih ada kendala lain yang menghambat ambisi Jawa Tengah buat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. PDRB per kapita Jawa Tengah, hingga saat ini, relatif lebih rendah dibanding daerah-daerah lain di Indonesia lantaran Upah Minimum Provinsi (UMP) yang juga rendah.
"Ini juga membawa keuntungan di sisi lain, karena investor cenderung mau masuk ke wilayah dengan UMP atau Upah Minimum Regional (UMR) rendah. Karena punya daya saing dari sisi upah," ucapnya.
Namun, Adhi mengingatkan, tidak selamanya upah rendah itu jadi daya tarik. Bahkan, upah rendah itu bisa berbalik merugikan Jawa Tengah apabila laju pertumbuhan upah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Karena 50 persen lebih ekonomi yang terbagi di Jawa Tengah terkonsumsi untuk rumah tangga. Artinya, kalau misalnya konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat rendah, otomatis ekonomi juga akan sulit untuk ditingkatkan," jelasnya.
Ekonom Universitas Diponegoro (Undip), FX Sugiyanto, mengungkapkan fakta lain yang juga mesti jadi perhatian Jawa Tengah sebelum mematok target pertumbuhan di angka 7 persen. Dalam 10 tahun terakhir, efisiensi ekonomi Jawa Tengah cenderung mengalami penurunan.
"Artinya memang, mau tidak mau, ini menjadi isu kebijakan ekonomi. Bagaimana Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ekonomi kita cenderung menurun. Harus bisa kita ubah," jelasnya.
Sugiyanto mengatakan, kondisi tersebut bisa menjadi indikator bahwa perekonomian Jawa Tengah begitu haus modal atau capital intensive. Merosotnya ICOR mesti diikuti dengan perbaikan kualitas birokrasi. Bahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mestinya punya program khusus buat memperbaiki indikator itu. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin di kemudian hari perekonomian Jawa Tengah hanya boros untuk kebutuhan modal namun nilai keluaran yang dihasilkan justru minim.
"Saran saya sih, target [pertumbuhan ekonomi] tidak usah 7 persen lan. Menurut saya, antara 5,5-6,0 persen jauh lebih realistis. Itu pun pasti tidak [tercapai di] 2023, mungkin 2025 masih berani lah," ucap Sugiyanto.
Lebih lanjut, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip itu menjelaskan bahwa Jawa Tengah mesti menjaga pertumbuhan investasi daerah di angka 9 persen. "Syaratnya, pemerintah mampu mengendalikan inflasi di 3,5 persen," jelasnya.
Prasyarat itu tentu berat buat dijamin Jawa Tengah. Sebagaimana disampaikan Plh Asisten Bidang Perekonomian Sekda Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, saat ditemui Bisnis. "Kalau tumbuh segitu kan effort-nya luar biasa. Kalau kita mengejar pertumbuhan, maka industri yang kita dorong untuk tumbuh cepat. Tetapi risikonya adalah ketimpangan," ucapnya beberapa waktu lalu.
Ketimpangan Melela
Bicara masalah ketimpangan, Sujarwanto menjelaskan bahwa isu tersebut perlu mendapat perhatian serius. Jangan sampai, ambisi pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen itu justru tak terasa dampaknya buat masyarakat Jawa Tengah yang lebih luas. "Maka jangan mengejar pertumbuhan belaka. Tapi mengejar pertumbuhan yang berkualitas. Harus inklusif dengan keterlibatan masyarakat di lini bawah," ucapnya.
Ekonom Undip, FX Sugiyanto, menyangsikan keseriusan Jawa Tengah dalam mengentaskan ketimpangan itu. Pasalnya, dalam tiga tahun terakhir, gini rasio Jawa Tengah punya tren yang khas. Naik di awal tahun dan turun di akhir tahun. Pola tersebut menurut Sugiyanto menunjukkan kebijakan yang mirip 'pemadam kebakaran'. "Artinya, tidak sustain kebijakan itu," tegasnya.
Masalah lain yang juga jadi sorotan Sugiyanto adalah perkara ketenagakerjaan. Selain Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Sugiyanto menyebut masyarakat Jawa Tengah yang masuk dalam kategori setengah menganggur perlu mendapat perhatian. Sebab, jika jumlahnya terus bertambah, maka daya beli masyarakat Jawa Tengah bisa terus tergerus.
"Saya memilih jalan moderasi," kata Sugiyanto. "Mengerem pertumbuhan tidak terlalu tinggi, tetapi lebih cepat mengurangi dua persoalan dasar yang dihadapi Jawa Tengah. Kemiskinan dan kesenjangan, bagi saya ini mendesak. Tidak ada pilihan lain kalau soal perut," tegasnya.
Langkah moderat itu, menurut Sugiyanto, bukan berarti melepas sama sekali target pertumbuhan ekonomi di angka 7 persen. Justru, Jawa Tengah bisa mengambil double track strategy, istilah yang digunakan Sugiyanto buat menyelesaikan dua masalah di waktu yang sama.
"Pertumbuhan ekonomi di usaha besar iya, Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Demak, iya. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus memberikan fokus pada pembangunan yang menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Itu watak ekonomi Indonesia kan seperti itu, itu kenyataan sejarah. Kenyataan sosiologis bahwa kita harus mengambil dua jalan sekaligus," jelas Sugiyanto.