Bisnis.com, SEMARANG--Keberadaan transportasi Trans Semarang jangan sampai menggusur angkutan umum lainnya.
Pakar transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengingatkan keberadaan bus rapid transit (BRT) Trans Semarang seharusnya bukan menggusur, tetapi menggeser.
Pernyataan tersebut disampaikan Djoko, Selasa (7/3/2017), terkait penolakan pembukaan dua koridor baru Trans Semarang.
Para sopir angkutan kota (angkot) di lima trayek sebelumnya memprotes pembukaan dua koridor baru Trans Semarang karena dikhawatirkan akan menurunkan jumlah penumpang yang selama ini mereka dapatkan.
Dua koridor baru yang dimaksud, yakni Koridor V yang melayani rute Meteseh-PRPP PP, dan Koridor VI yang menghubungkan kampus Universitas Diponegoro Semarang (Undip) dengan Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Kata dia protes yang dilayangkan para pengusaha dan sopir angkot itu karena sejak awal tidak ada pelibatan pelaku usaha transportasi umum dalam pengelolaan maupun operasional Trans Semarang.
"Sejak awal peluncuran BRT Trans Semarang, pengusaha angkutan umum tidak dilibatkan. Itu salah satu kesalahan," kata mantan Kepala Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata Semarang itu.
Mulai peluncuran Koridor I, kata dia, kesannya terjadi penunjukan langsung kepada salah satu pengusaha untuk mengoperasikan, padahal seharusnya pengusaha transportasi yang sudah ada dilibatkan.
"Konsep awalnya BRT Trans Semarang adalah membina pengusaha, pemilik, dan sopir angkutan umum menjadi pengusaha profesional. Cukuplah setahun, tidak perlu lama. Yang terjadi, malah dibinasakan," katanya.
Apalagi, kata dia, sampai sekarang Kota Semarang belum memiliki "masterplan" transportasi yang bisa digunakan untuk memberikan pembinaan kepada para pengusaha angkot untuk perencanaan bisnis transportasi yang lebih modern.
"Kalau ini dibiarkan begini, pastinya pengusaha angkot di Semarang kalah semua dari pengusaha angkot dari luar kota. Kasihan kalau seperti ini," jelasnya.
Dengan masih adanya gejolak terkait pembukaan dua koridor baru Trans Semarang, ia berharap pemerintah mempertimbangkan terlebih dulu, sebab jika dipaksakan akan mematikan pengusaha dan sopir angkot.
Berkaitan dengan lelang operator Trans Semarang, Djoko keberatan jika harus ada persyaratan simpanan dana minimal Rp1 miliar, sebab pengusaha angkot di Semarang masih tergolong pengusaha kecil.
"Kemudian begini, benar kalau kemudian sopir angkot diakomodir jadi sopir Trans Semarang. Namun, masalah baru akan timbul karena pengusaha angkot tidak memiliki usaha," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Semarang Wasi Darono mengakui angkot tidak akan mampu bersaing dengan Trans Semarang dan jelas tidak bisa bertahan.
"Kami berharap pengusaha angkot tidak dijadikan sebagai saingan, tetapi `partner` dalam pengelolaan Trans Semarang. Untuk lelang koridor baru, kami juga berharap ditunda untuk dicari solusi terbaik," katanya.