Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CERITA KHAS, Gus Dur di Altar & Imlek di Semarang

Seperti layaknya bangunan lain milik masyarakat Tionghoa, gedung yang dikenal dengan nama Gedung Rasa Dharma itu juga terdapat tempat sembahyang di dalamnya.

Bisnis.com, SEMARANG – Bangunan tua di Gang Pinggir, Kranggan, Semarang, itu tampak ramai, Rabu (7/2/2018) siang. Beberapa orang lanjut usia (lansia) yang tergabung dalam Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma terlihat menggelar aktivitas sosial di gedung yang sudah berdiri sejak 1876 itu.

Seperti layaknya bangunan lain milik masyarakat Tionghoa, gedung yang dikenal dengan nama Gedung Rasa Dharma itu juga terdapat tempat sembahyang di dalamnya. Uniknya, di tempat pemujaan itu terdapat sebuah papan kayu nisan bertuliskan K.H. Abdurrahman Wahid atau yang populer dengan sapaan Gus Dur. Nama K.H. Abdurrahman Wahid di papan kayu nisan itu bahkan ditulis dengan warna emas.

Seorang pengurus Gedung Rasa Dharma, Lie Rizki Kencana Dewi atau yang akrab disapa Dewi Amor, menyebutkan Gus Dur memang sangat disegani oleh masyarakat Tionghoa, tak terkecuali yang tinggal di Pecinan, Semarang. Peran Presiden ke-4 Indonesia dalam mengakomodasi perayaan Tahun Baru China atau Imlek menjadi hari libur nasional sehingga bisa dirayakan secara terbuka layak diapresiasi.


“Papan nisan di altar pemujaan itu bukan untuk disembah. Hanya sebagai bentuk penghormatan kami pada beliau,” ujar Dewi saat berbincang dengan Semarangpos.com di Gedung Rasa Dharma, Rabu (7/2/2018).

Peran Gus Dur dalam mengakomodasi perayaan Imlek memang patut diacungi jempol. Sebelum era kepemimpinan Gus Dur, yakni tahun 1968-1999, perayaan Imlek dilarang dirayakan di depan umum.

Bahkan, saat Rezim Orde Baru itu, Presiden Soeharto melalui Inpres No. 147/1967 melarang segala hal berbau Tionghoa, termasuk Imlek.

Akan tetapi, semua berubah saat Gus Dur menjabat sebagai presiden. Inpers No. 147/1967 itu dicabut pada tahun 1999 dan membuat masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Imlek. Berbagai kebudayaan Tionghoa, seperti barongsai pun mulai dipertontonkan di depan umum hingga dikenal masyarakat luas.

Dewi menyebutkan Imlek sebenarnya selalu dirayakan masyarakat Tionghoa setiap tahun. Namun di era Orde Baru, perayaan itu digelar secara sembunyi-sembunyi alias tidak terbuka.

“Dulu sebelum Gus Dur jadi presiden, jangankan merayakan Imlek secara terbuka. Pergi ke kelenteng saja kami tidak nyaman. Tapi, sekarang beda. Perayaan Imlek sudah bisa digelar secara terbuka, bahkan tidak hanya dirayakan masyarakat Tionghoa tapi seluruh lapisan masyarakat,” ujar Dewi.

Semenjak dirayakan secara terbuka, masyarakat Tionghoa di Semarang pun selalu menggelar Imlek secara meriah. Tak hanya menghiasi rumahnya dengan berbagai lampion, mereka bahkan menggelar semacam perayaan saat Imlek.

Perayaan Imlek di Semarang setiap tahunnya biasanya ditandai dengan acara Pasar Semawis yang digelar di sepanjang Jl. Wot Gandul-Gang Pinggi, mulai 14-16 Februari 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper