Bisnis.com, KLATEN – Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi membuat para penangkar, pedagang, hingga penghobi burung berang. Mereka waswas berlakunya Permen itu mematikan usaha.
Hal itu menyusul sejumlah burung yang mereka tangkar dan pelihara masuk kategori satwa dilindungi. Jenis burung yang masuk kini kategori dilindungi di antaranya jalak suren, murai batu, serta cucak rawa. Jenis burung tersebut selama ini banyak ditangkar warga di Kabupaten Bersinar.
Konsekuensi status satwa dilindungi yakni kepemilikan, pemeliharaan, dan jual beli harus disertai izin.
Anggota Asosiasi Penangkar dan Penghobi Burung Klaten (APPBK) Cecep mengatakan ada sekitar 18.000 jalak suren, 2.726 murai batu, dan 880 cucak rawa yang ditangkarkan di Klaten. Jumlah itu belum seluruh burung yang ditangkarkan dan diperkirkaan baru 40 persen. Klaten disebut-sebut menjadi pusat penangkaran jalak suren di Indonesia.
“Dari mulai pengangguran, pejabat negara, dan ibu rumah tangga bertenak burung. Apakah ini fair burung yang menjadi penggerak ekonomi rakyat Klaten menjadi dilindungi? Masalah dilindungi atau tidak dilindungi sah-sah saja ditetapkan pemerintah karena memiliki LIPI. Namun, apakah risetnya sampai ke penangkar? Hutan mana yang mereka riset? Sementara, pembalakan liar itu mengusir satwa. Padahal kami para penangkar mengembangbiakkan. Kami tidak memusnahkan,” kata Cecep penangkar murai batu.
Cecep berharap aspirasi mereka bisa diteruskan ke pemerintah pusat. Alasan aksi tak digelar di Jakarta lantaran berbarengan dengan Asian Games 2018. “Kami tidak ingin nama Indonesia tercoreng ketika demo di Jakarta,” katanya.
Penangkar burung jalak suren, Siswanto, mengatakan sekitar dua tahun lalu Klaten dideklarasikan sebagai Kota Penangkaran Nusantara. Deklarasi itu dinilai sia-sia jika Permen tersebut tetap diberlakukan.
Ia memastikan di habitat asli sudah tak ada lagi jalak suren. Ia juga menegaskan para penangkar tak mencuri burung melainkan mengembangbiakkan. Para penangkar selama ini sudah meminta ada pelepas liar jalak suren.
“Justru kami yang menantang melepas liar supaya alam bisa lestari. Tetapi kami terbelenggu aturan karena kami sudah konsultasi balai konservasi bahwa saat ini tidak ada tempat lepas liar di habitat aslinya,” urai dia.
Siswanto juga mengatakan dampak terbitnya Permen LHK itu juga mulai terasa. Ia mencontohkan harga seekor jalak suren yang baru menetas sebelumnya Rp80.000 kini hanya Rp40.000. Hal ini lantaran para pedagang dan pembeli mulai ketakutan jalak suren masuk kategori dilindungi.
Pedagang burung jalak, Marwanto, 29, mengatakan sejak terbitnya Permen itu pasar jalak suren lesu. Konsumen khawatir membeli burung yang kini masuk kategori satwa dilindungi itu justru berbuntut pada persoalan hukum.
“Rata-rata konsumen itu orang awam. Mereka takut kena masalah hukum. Reseller kami juga takut didatangi polisi atau petugas BKSDA,” ungkapnya.
Setiap pekan, para pedagang burung jalak suren di Klaten bisa mengirimkan 1.000 ekor ke seluruh Indonesia. Sejak terbitnya peraturan itu, jumlah jalak suren yang dikirimkan merosot hingga 50 persen.
Marwanto juga berharap tak ada oknum polisi yang mendatangi para penangkar. Hal itu berkaca pada peristiwa sekitar dua tahun lalu ketika ada penangkar burung yang didatangi oknum polisi dan menyita burung yang diternak. “
Asisten Administrasi Setda Klaten, Sri Winoto, mengatakan pemkab menerima dan segera meneruskan aspirasi ke kementerian termasuk ke presiden.