Bisnis.com, SEMARANG - Jumiyatun,58, hanya bisa termenung menyaksikan mesin ekskavator merobohkan satu demi satu bangunan warga yang ada di Kampung Tambakrejo RT 005/RW 016, Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, Kota Semarang, Kamis (9/5/2013) siang.
Tak terkecuali saat mesin buatan Jepang itu menghancurkan bangunan rumahnya. Nenek delapan orang cucu itu hanya bisa terdiam.
Maklum, kenangan 15 tahun selama menempati rumah itu pun seakan muncul dan membuatnya tak bisa berkutik.
“Sudah lama saya tinggal di sini. Kurang lebih sekitar 15 tahun. Dari masih punya anak, sampai sekarang cucu saya sudah delapan. Sekarang digusur,” ujar Jumiyatun saat berbincang dengan JIBI di lokasi.
Bagi Jumiyatun dan ratusan warga Tambakrejo,pengusuran yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang seakan menjadi kado pahit di awal bulan puasa.
Bagaimana tidak? Saat masih menjalankan ibadah puasa atau sehabis santap sahur, warga tiba-tiba dikejutkan dengan derap langkah ratusan petugas Satpol PP yang ingin mengusur tempat tinggalnya karena terdampak proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT).
Seorang warga, Rini Wibowo, 20, mengaku Satpol PP datang sekitar pukul 06.00 WIB. Mereka lantas meminta warga untuk meninggalkan rumah karena akan dilakukan penggusuran.
“Banyak yang kaget dengan kedatangan Satpol PP. Saya saja sampai menangis karena takut,” ujar Rini.
Upaya Satpol PP ini pun sempat mendapat perlawanan dari warga. Bahkan, warga turut dibantu para mahasiswa dan aktivis LSM yang tergabung dalam Aliansi Peduli Tambakrejo.
Penggusuran rumah warga pun sempat berlangsung ricuh. Bahkan, mahasiswa yang terlibat penolakan sempat beradu fisik dengan petugas Satpol PP.
Meski demikian, tidak ada korban jiwa dalam bentrokan itu. Warga dan mahasiswa akhirnya pasrah bangunan warga yang terdampak proyek dirobohkan untuk pembuatan tanggul proyek normalisasi BKT.
Camat Semarang Utara, Aniceto Magno da Silva, mengaku penggusuran secara paksa merupakan upaya terakhir pemerintah untuk merelokasi warga yang terdampak proyek normalisasi BKT.
“Ini juga tidak kita kehendaki [penggusuran paksa]. Tapi, mau bagaimana lagi. Satu tahun kami beri kesempatan pindah, mereka tetap ndableg. Ya, ini cara yang kami ambil,” ujar Aniceto.
Aniceto menyebutkan upaya pengusuran sebenarnya sudah coba dilakukan pemerintah berulang kali. Namun, upaya itu selalu ditunda karena pihaknya masih mencoba mendengarkan keinginan warga melalui audiensi, bahkan mediasi bersama Komnas HAM, 13 Desember 2018 lalu.
“Setelah digusur, warga kami minta untuk sementara menempati Rusunawa Kudu. Kami akan gratiskan selama dua tahun. Setelah Rusun di Kalibanger yang dekat laut selesai, mereka bisa pindah ke sana,” ujar Aniceto.
Kepala Satpol PP Kota Semarang, Endro P. Martanto, mengatakan pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, selaku pemilik proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) sudah berulang kali melakukan proses sosialisasi terhadap warga.
Mereka ingin warga segera angkat kaki dari wilayah yang berada di bantaran sungai yang berdekatan dengan laut karena akan segera dibangun tanggul untuk proyek normalisasi BKT yang digadang-gadang mampu mengatasi permasalahan banjir di kawasan Semarang Utara.
“Prosesnya sudah berjalan lama, hampir 1,5 tahun. Tapi, enggak selesai-selesai. Akhirnya kita lakukan penertiban terhadap penghuni di sana,” ujar Endro.
Sementara itu, perwakilan dari Aliansi Peduli Tambakrejo, Rama Sutanto, mengatakan Pemkot Semarang tidak menghormati kesepakatan yang telah dibuat pada 13 Desember 2018. Saat itu, Pemkot Semarang, BBWS, disaksikan Komnas HAM berjanji akan memberikan ganti rugi dan menyediakan lahan yang disepakati warga sebelum melakukan penggusuran. Namun Pemkot melanggar kesepakatan dengan menggusur rumah warga Tambakrejo terlebih dahulu.
"Kami menyayangkan karena peristiwa ini melanggar kesepakatan perdamaian antara Pemkot Semarang, BBWS, dan warga Tambakrejo. Dalam kesepakatan itu Pemkot dan BBWS bersedia menyediakan lahan. Tapi, lahan belum ada malah sudah melakukan pengusuran,” ujar Rama saat dijumpai JIBI di lokasi kejadian.
Atas sikap Pemkot Semarang itu, Rama mengaku wajar jika warga yang didukung mahasiswa melakukan perlawanan saat rumahnya hendak digusur. Perlawanan itu pun berujung dengan kericuhan dan bentrok fisik.
Dari keterangan resmi yang diperoleh JIBI dari Aliansi Peduli Tambakrejo, ada 8 mahasisswa dan warga yang mengalami kekerasan fisik, seperti ditendang di bagian kemaluan, dipukul, hingga kameranya nyaris diambil paksa petugas.