Bisnis.com, PURWOKERTO – Kepolisian Resor Banyumas, Jawa Tengah menyosialisasikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia guna meminimalisasi terjadinya permasalahan yang dapat mengarah ke perbuatan lain termasuk tindak pidana.
Sosialisasi yang menghadirkan sejumlah narasumber, perwakilan dari berbagai perusahaan pembiayaan, organisasi kemasyarakatan, dan institusi lainnya itu dikemas melalui kegiatan Seminar Dalam Rangka HUT Ke-78 Bhayangkara dengan tema "Kupas Tuntas Undang-Undang RI tentang Jaminan Fidusia" di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Senin (17/6/2019).
Salah seorang pembicara dalam seminar tersebut, Kepala Subbagian Pelayanan Administrasi Hukum Umum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Tengah Andhy Kusriyanto memaparkan tentang tata cara mendaftarkan jaminan fidusia.
Dalam hal ini, pendaftaran jaminan fidusia memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia.
Ia mengatakan apabila jaminan fidusia belum didaftarkan, kreditur atau perusahaan pembiayaan belum memiliki hak jaminan fidusia termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan.
Selain itu, kata dia, UU Jaminan Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau kepolisian.
Baca Juga
"Tidak serta merta melakukan eksekusi, dari pihak kreditur dapat meminta kepada kepolisian untuk memberikan pengamanan terhadap eksekusi jaminan fidusia. Itu pun teknisnya setelah dua kali pemberitahuan dan ternyata dari pihak pemberi fidusia tidak secara sukarela memberikan objek jaminan fidusia," katanya.
Sementara saat dialog, salah seorang perwakilan Patriot Garda Nusantara, Muktamir menyambut baik adanya sosialiasi UU Jaminan Fidusia tersebut karena dia merasa prihatin terhadap kondisi saat ini di mana masyarakat dengan uang sebesar Rp500 ribu bisa membayar uang muka kredit sepeda motor.
"Padahal berdasarkan aturan, uang muka kredit sepeda motor minimal 30 persen (dari harga sepeda motor). Tapi sekarang dengan uang Rp500 ribu bisa pulang bawa sepeda motor," katanya.
Akan tetapi ketika tidak bisa membayar angsuran, kata dia, masyarakat yang punya kredit sepeda motor itu dikejar oleh debt collector.
Ia mengaku saat sedang bepergian melihat ada orang yang sepeda motornya disita di jalan oleh debt collector sehingga hal itu sangat memprihatinkan.
Terkait dengan keluhan tersebut, salah seorang perwakilan perusahaan pembiayaan Oto Finance Purwokerto, Yanu Haryanto mengatakan uang muka sebesar Rp500.000 merupakan kebijakan dari pihak dealer, bukan kebijakan perusahaan pembiayaan.
"Dealer itu punya program untuk meningkatkan penjualan, salah satunya DP (Down Payment/uang muka) Rp500 ribu. Namun dealer memberikan subsidi uang muka yang masuk ke 'finance' (perusahaan pembiayaan, red.) sehingga DP tetap 30 persen," jelasnya.
Sementara untuk pencabutan atau penyitaan sepeda motor di jalan, kata dia, saat sekarang sudah tidak ada lagi debt collector independent karena sesuai dengan peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ia mengatakan jika penyitaan di jalan itu dilakukan, pihak perusahaan pembiayaan akan mendapat sanksi dari OJK.
"Jika kami melihat barang kami di jalan, kami akan mengarahkannya ke kantor untuk dilakukan mediasi," katanya.
Saat ditemui wartawan usai seminar, Yanu mengatakan memiliki kolektor internal untuk menangani kredit macet yang terbagi atas dua divisi, yakni kolektor bulanan dan kolektor dua bulanan.
Menurut dia, kolektor bulanan menangani kredit macet yang terlambat satu bulan dengan cara menghubungi melalui telepon, mendatangi rumah debitur, dan memberikan surat peringatan.
Sementara untuk kolektor dua bulanan, kata dia, melakukan penagihan terhadap debitur yang terlambat membayar angsuran selama dua bulan dengan membawa surat penyitaan.
"Itu adalah mengacu dari aturan debitur dengan perusahaan, itu ada aturan main, dengan langkah-langkah yang sudah kita ambil. Yang jelas penanganannya persuasif, pendekatan-pendekatan. Kalau memang terjadi hal-hal yang pidananya jalan atau unit sudah dipindahtangankan atau digadai, baru kita koordinasi dengan pihak ketiga, yaitu PJP, Perusahaan Jasa Penagihan karena itu pun aturan dari OJK," katanya.
Sementara itu, Kepala Polres Banyumas Ajun Komisaris Besar Polisi Bambang Yudhantara Salamun mengatakan penyelenggaraan kegiatan seminar tersebut didasari oleh hasil evaluasi Polres Banyumas beberapa waktu terakhir bahwa ada permasalahan-permasalahan di masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan yang cukup berpotensi untuk melahirkan suatu perbuatan lainnya.
"Kami mencoba mencari akar permasalahannya, ini salah satunya. Kami menganggap pemahaman masyarakat tentang Undang-Undang Jaminan Fidusia ini masih sangat minim sekali," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya mengajak seluruh pemangku kepentingan, seluruh elemen masyarakat, organisasi kemasyarakatan,dan lembaga swadaya masyarakat yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut termasuk pihak ketiga atau "debt collector" serta pihak lembaga pembiayaannya.
"Di sini kita bisa saling berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada, sehingga ada langkah-langkah solusi, setidaknya kita buka jalur komunikasi. Jadi, supaya ke depan tidak ada lagi permasalahan-permasalahan yang sifatnya bisa merugikan warga negara lainnya," katanya.