Bisnis.com, SEMARANG--Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) diyakini masih menjadi andalan Jawa Tengah dalam memacu ekspor. Nilai penjualan TPT berkisar 43% dari total ekspor Jateng.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah Arif Sambodo menyebutkan, kinerja industri TPT Jateng cenderung positif dalam dua tahun terakhir. Hal ini terlihat dari pertumbuhan kontribusi TPT terhadap ekspor secara keseluruhan.
“Saya masih yakin ekspor Jateng masih bersandar kepada industri TPT,” tuturnya kepada Bisnis, Selasa (23/7/2019).
Mengutip data BPS, pada Januari—Mei 2019, nilai ekspor TPT Jateng mencapai US$1.541,88 juta, tumbuh 6,44% year on year (yoy) dari periode yang sama pada tahun sebelumnya senilai US$1.448,64 juta.
Dalam 5 bulan pertama 2019, TPT berkontribusi terhadap 43,12% total ekspor Jateng. Kontribusi tersebut meningkat dari rata-rata 2018 sebesar 43,09%.
Arif menuturkan, peningkatan ekspor terutama berasal dari produk garmen atau pakaian jadi dari sejumlah korporasi besar, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL), PT Pan Brothers Tbk. (PBRX), PT Ungaran Sari Garment, dan beberapa perusahaan di Kawasan Industri Wijayakusuma.
Salah satu problem industri TPT ialah ketersediaan bahan baku dan bahan penolong, seperti serat atau benang stapel. Namun, tren impor bahan baku itu cenderung menurun.
“Pada 2018, impor bahan tekstil naik 20,97% yoy, tetapi pada Januari—Mei 2019, impor tersebut turun 6,2% yoy. Impor tinggi pada 2018 juga karena perusahaan tekstil meng-upgrade mesin pabriknya,” tuturnya.
Menurut Arif, penurunan impor bahan tekstil disebabkan strategi sejumlah perusahaan, seperti SRIL, untuk mengintegrasikan pengoperasioan mulai dari hulu hingga hilir. Dengan demikian, ada substitusi impor untuk bahan baku.
Selain mendukung perusahaan besar, Disperindag Jateng juga mendorong ekspor tekstil dari kalangan pelaku usaha Industri Kecil Menengah (IKM). Salah satunya adalah produsen sarung goyor asal Tegal, yang sudah melakukan penjualan ke Arab Saudi.
Khusus untuk IKM, sambung Arif, pihaknya melakukan pelatihan seperti regulasi ekspor, perencanaan bisnis, dan cara bertemu dengan pembeli. Diharapkan para pengusaha tersebut dapat melakukan ekspor secara mandiri, atau tidak lagi melalui jasa trader.
Masalah Duniatex
Arif Sambodo mengungkapkan, permasalahan yang terjadi di Duniatex Group tidak menggambarkan kondisi industri TPT Jateng yang cenderung bertumbuh.
“Duniatex ini jangan-jangan salah strategi melakukan proyeksi. Jadi, gejala yang terjadi di Duniatex tidak menggambarkan industri TPT di Jateng,” tuturnya.
Dia pun mengklaim utilisasi pabrik TPT di Jateng masih cukup tinggi seiring dengan meningkatnya permintaan, terutama untuk pasar ekspor.
Seperti diketahui, perusahaan tekstil yang berbasis di Karanganyar, Duniatex Group, mengalami permasalahan utang. Anak usahanya, PT Duta Merlin Dunia Textile (DMDT) dikabarkan gagal membayar bunga dan pokok surat utang dengan total nilai US$11 juta, yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019.
Nilai obligasinya sendiri mencapai US$300 juta dengan tenor 5 tahun dan kupon 8,625%. Surat utang itu diterbitkan pada Maret 2019.
Selain itu, DMDT juga menarik kredit sebesar Rp5,25 triliun dan US$362,3 miliar pada 2018 dari sejumlah perbankan. Bahkan menurut sumber Bisnis, sejumlah bank tengah merestrukturisasi utang Duniatex Group senilai Rp17 triliun.
Nilai Ekspor TPT Jateng
Januari—Mei 2019 : US$1.541,88 juta
Januari—Mei 2018 : US$1.448,64 juta