Bisnis.com, JAKARTA - Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah semestinya mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seiring dengan terus meningkatnya kasus Covid-19 dalam sebulan terakhir.
Langkah itu dinilai menjadi opsi yang cukup moderat sebab pandemi tersbut membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah Ahmad Muttaqin Alim mengatakan, Pemda DIY semestinya segera mengajukan PSBB kepada Pemerintah Pusat. Pasalnya, PSBB adalah opsi paling moderat dibandingkan karantina wilayah atau lockdown yang mewajibkan pemerintah menanggung kebutuhan pangan.
“Secara aspek ilmu kebencanaan epidemologi, yang paling bagus PSBB atau lockdown. Harusnya [PSBB] sudah ditempuh. Ketika PSBB diberlakukan di Jogja, pengamanan di jalur-jalur interaksi harus dilakukan. Kalau pasar tetap aktif, bagaimana pemerintah mengawasi protokol keamanan di pasar, pakai masker, cuci tangan, rutin disinfeksi, kemudian secukupnya belanja lalu pulang,” katanya kepada Harianjogja.com, Rabu (15/4/2020).
Menurutnya, angka temuan Covid-19 di DIY selalu naik. Keputusan PSBB mungkin hanya tinggal menunggu waktu. Artinya, cepat atau lambat akan diambil. Namun menurutnya, lebih cepat lebih baik.
Misi utama pencegahan, kata dia, adalah menghentikan penularan. “Soal dampak ekonomi silakan dipikir ekonom dan pemangku kebijakan. Kalau semakin lama makin panjang pula efek ekonomi dan sosialnya,” papar dia.
Baca Juga
Kebijakan PSBB ditetapkan pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.21/2020. Berdasarkan regulasi tersebut, PSBB merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19.
Untuk bisa memberlakukannya, suatu wilayah harus memenuhi sejumlah kriteria. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No, 9/2020, ada tiga kriteria penetapan PSBB, yakni peningkatan jumlah kasus dan/atau kematian secara bermakna dalam kurun waktu tertentu, penyebaran kasus secara cepat di wilayah lain dalam kurun waktu tertentu, dan ada bukti terjadinya transmisi lokal.
Dihubungi terpisah, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM Riris Andono Ahmad menyebut Jogja sejak awal sudah tergagap-gagap menghadapi Corona. Gerak cepat dan masif perlu dilakukan agar tak semakin terseok di tengah jalan sebelum bencana kesehatan kian besar terjadi di DIY.
Ia menyayangkan sejak pertama kali muncul kasus, Pemda DIY lebih memilih menimbang dampak ekonomi dan pariwisata alih-alih bergerak cepat mengunci wilayah ini serta menelusuri kasus Covid-19 secara ketat.
“Kalau kita lihat respons terhadap temuan Covid-19, sama dengan Pusat yang lebih fokus pada ekonomi dan pariwisata yang kemungkinan terdampak. Mereka tidak fokus menyiapkan sistem kesehatan untuk menerima kasus. Ini situasi awal yang pelu kita jadikan pelajaran,” kata Tim Respons Covid-19 UGM yang biasa disapa dokter Doni itu, Selasa (14/4/2020) lalu.
Sikap ini berbeda dengan yang ditempuh Solo, Jawa Tengah yang langsung menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) begitu mendeteksi kasus Covid-19 di wilayah itu. Publik tentu masih ingat pernyataan Pemda DIY saat pertama kali kasus ini ditemukan, 15 Maret lalu.
Gubernur DIY Sri Sultan HB X kala itu menyatakan kasus yang terjadi di DIY belum cukup untuk dimasukkan kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). Kebijakan ini diambil karena berbagai alasan, salah satunya mempertimbangkan aspek ekonomi dan pariwisata.
Idealnya, kata Doni, perhatian pemerintah fokus pada mempersiapkan sistem kesehatan menghadapi pandemi, menyiapkan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis, kebutuhan alat diagnosa, mengatur dan menghitung sumber daya yang ada serta kapasitas rumah sakit.