Bisnis.com, YOGYAKARTA – Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) DI Yogyakarta, Parjiman, menyebutkan bahwa aduan masyarakat terkait pinjaman online (pinjol) atau finansial teknologi (fintek) dan investasi ilegal mengalami peningkatan.
“Selama tahun 2021 ini, sampai di kemarin, sebanyak 49 laporan. Ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 39 dan laporan,” jelasnya, Senin (9/8/2021).
Parjiman menyebut bahwa koordinasi dengan Satgas Waspada Investasi (SWI) telah dilakukan untuk menindak pelaku pinjol dan investasi ilegal. Di DI Yogyakarta sendiri, SWI terdiri dari 11 instansi dan lembaga yang meliputi OJK, Bank Indonesia Perwakilan DI Yogyakarta, Kepolisian Daerah, Kejaksaan, Kantor Wilayah Agama, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Komunikasi dan Informasi, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, serta Badan Koordinasi Penanaman Modal.
“Tugas dari Satgas Waspada Investasi ini meliputi 3 hal, pencegahan, penanganan, dan pelaporan,” jelas Parjiman. Sampai tahun 2021, koordinasi antara OJK dan SWI tersebut telah berhasil menindak sebanyak 1.085 entitas perusahaan investasi ilegal. “Sejak tahun 2018 sampai Juni 2021, SWI telah menutup sebanyak 3.365 fintech lending ilegal,” tambahnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh OJK DI Yogyakarta dan Harian Jogja secara virtual.
Tongam Lumban Tobing, Ketua SWI, menyebut bahwa masyarakat di Pulau Jawa masih rentan untuk terjebak iming-iming tekfin dan investasi ilegal. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini. “Penawaran-penawaran ini memang tetap marak, kenapa? Karena mereka ini mencari peluang kelengahan masyarakat kita,” jelasnya.
Berdasarkan data pengaduan SWI, pelaku tekfin dan investasi ilegal marak beroperasi di kota-kota besar, utamanya di Pulau Jawa. “Di Jawa, ini menjadi target mereka karena perputaran uang itu ada di Jawa. Jadi banyak sekali korban-korban investasi ilegal yang berada di wilayah perkotaan di Jawa,” tambahnya.
Baca Juga
Tongam mengungkapkan bahwa masyarakat mesti mewaspadai ciri-ciri perusahaan investasi ilegal. “Apabila kita menerima penawaran investasi dengan iming-iming hasil tinggi, cek 2 L. Legal dan logis. Legal artinya [ada] izin badan hukumnya, izin produknya. Kalau tidak ada jangan diikuti. Kemudian logis, rasionalitas timbal hasil,” jelasnya.
Sementara itu, untuk modus fintek ilegal, Tongam menyebut bahwa masyarakat masih banyak yang tidak menganggap penting data serta kontak yang tersimpan di telepon genggamnya.
“Pinjol ilegal ini selalu minta kita untuk mengakses data dan kontak kita di handphone. Ini pencurian data pribadi tentunya, tapi kita mengizinkan dan ini akan dipergunakan pada saat penagihan nanti. Kita belum bisa bayar, dia akan melakukan teror intimidasi,” ungkapnya.
Maraknya perusahaan tekfin ilegal yang merugikan masyarakat, menurut Tongam, perlu disikapi dengan bijak. Di kondisi pandemi seperti sekarang, pinjaman online bisa menjadi solusi ketika masyarakat kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari jasa keuangan formal.
“Contohnya pinjam ke bank, kemudian ke perusahaan pembiayaan, ke pegadaian tak ada barang yang dijaminkan, ke tetangga sudah keseringan minjem juga sudah bosan, akhirnya ada peluang-peluang untuk meminjam di pinjol,” jelas Tongam sembari berkelakar.
Oleh karena itu, masyarakat diminta untuk teliti sebelum melakukan pinjaman ke perusahaan tekfin. Pasalnya, apabila terjebak pinjol ilegal, ada sejumlah kerugian yang bakal terjadi. Seperti tingginya suku bunga pinjaman, fee, denda, teror serta intimidasi. Meskipun demikian, Tongam menyebutkan bahwa jika masyarakat teliti, bukan tidak mungkin bantuan pinjol tersebut dapat memberikan manfaat lebih.
“Banyak sekali yang terbantu, banyak sekali masyarakat kita yang menikmati [pinjol]. Tetapi dia menyengsarakan kalau dia masuk ke pinjol ilegal,” tambahnya.