Bisnis.com, SALATIGA - Firdaus sudah menggeluti usaha tanaman sejak tahun 2014. Dahulu, pria tersebut memulai usaha penjualan produk-produk hidroponik di Yogyakarta, tepatnya di Jl. Kaliurang.
"Waktu itu belum berani produksi sayuran atau buah karena mengingat kondisi permodalan," jelasnya ketika ditemui Bisnis. Perlahan, usaha yang diberi nama Waroeng Hidroponik tersebut kian berkembang. Tak hanya jumlah pesanan, dari hari ke hari jumlah pelanggan Firdaus pun mulai bertambah.
Pada 2015, Firdaus memutuskan untuk pulang kampung dan membuat kebun hidroponiknya sendiri di lahan seluas 300 meter persegi (m2). "Di Salatiga kami melanjutkan penjualan online, sembari mengajarkan cara menanam hidroponik. Juga mengembangkan produksi selada. Tujuannya adalah untuk menambah materi pelatihan, yaitu materi manajemen kebun," jelasnya dikutip, Jumat (31/12/2021).
Selada yang diproduksi Firdaus di kebun kecilnya tersebut disetorkan kepada pengepul di Kota Semarang. Dari pengepul, selada hidroponik tersebut disalurkan ke supermarket serta ritel yang tersebar di wilayah Semarang Raya.
"Tetapi karena pandemi, permintaan dipangkas 50 persen. Kita hitung-hitung dengan kapasitas 300 m2 untuk bercocok tanam, itu terlalu lama untuk kita kejar BEP bangunan yang sudah kita keluarkan biayanya ini. Dengan pemangkasan permintaan, BEP ini semakin lama tercapai," jelasnya.
Ekspansi ke Anggrek
Di tengah kegalauan akibat berkurangnya permintaan selada, Firdaus yang juga berjualan nutrisi hidroponik dihubungi seorang pelanggannya dari Wonosobo. "Tiba-tiba minta dibikinkan nutrisi anggrek. Dari situ obrolan berlanjut dan saya mendapat hitung-hitungan ekonominya, dengan luasan lahan yang terbatas ini kok rasanya lebih masuk," ungkapnya.
Memang, jika dibandingkan dengan produk sayuran atau buah-buahan, perhitungan di atas kertas menunjukkan bahwa penjualan anggrek akan jauh lebih menguntungkan. Apabila sayur dan buah dijual secara kiloan, Firdaus bisa menjual anggrek secara satuan. Artinya, dengan luasan lahan yang terbatas, potensi omzet yang dihasilkan bisa jauh lebih besar.
"Ada juga pertimbangan lain, termasuk risiko, dalam hal ini durasi waktu. Kalau sayur kita terpatok oleh waktu panen, kalau mendekati panen sayuran belum ada yang order kita pasti bingung. Bagaimana caranya supaya sayuran ini cepat keluar? Karena ketika lewat masa panen, pasti kualitasnya drop. Kalau anggrek, di setiap fase pertumbuhannya, itu sudah punya nilai ekonomi sendiri. Sudah bisa dijual," jelas Firdaus.
Baca Juga : PELUANG BISNIS: Berkah Dari Anggrek |
---|
Kini, selain berjualan hidroponik, Firdaus juga mengelola Waroeng Anggrek. Sekilas, langkah Firdaus untuk banting setir dengan berjualan anggrek mungkin bisa dibilang cukup ekstrem. Dari berjualan hidroponik, ke produksi selada, lalu mengembangkan anggrek. Namun, kepada Bisnis, Firdaus menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya hari ini sebetulnya tak jauh berbeda dengan usaha yang sudah dilakukannya sejak dulu.
"Bisa dibilang sistem penanaman anggrek ini juga kan hidroponik. Tanpa tanah. Secara spesifik, kebutuhan nutrisi anggrek dengan sayuran atau buah itu sebetulnya juga sama. Hanya, untuk rasionya saja yang berbeda," jelas Firdaus.
Sama seperti usaha penjualan produk-produk hidroponik, Firdaus menjual anggrek dengan sistem daring. Memanfaatkan sosial media serta lokapasar atau marketplace, Firdaus mampu menjangkau peminat anggrek dari seantero negeri.
Firdaus mengungkapkan bahwa omzet penjualan anggrek dan produk hidroponiknya bisa mencapai ratusan juta setiap bulannya. "Untuk harga anggrek itu sebetulnya jauh lebih stabil. Setelah saya terjun dan mendapatkan informasi lebih, memang anggrek ini harganya bukan goreng-gorengan," jelasnya.
Prospek usaha anggrek di Tanah Air memang masih menjanjikan. Tak heran apabila banyak pemain tanaman hias yang mulai melirik komoditas tersebut. Di Pulau Jawa sendiri, pemain besar anggrek banyak tersebar di wilayah Jawa Timur. Selain pemain lokal, banyak pula importir anggrek dari negara-negara Asia Tenggara yang mulai memasarkan produknya di Indonesia.
Meskipun harus bersaing ketat, Firdaus mengaku tak ambil pusing dengan kondisi pasar tersebut. "Saya belum berpikir sejauh itu untuk bersaing dengan importir. Yang saya pegang, sebisa mungkin kita seharusnya bisa mendukung produk dalam negeri. Karena faktanya, produk petani lokal ini gak kalah dan prestasinya sudah bagus sekali. Ketika mereka ikut kompetisi di luar pun, banyak yang mendapat nominasi dan juara. Saya kira kita gak akan kalah dan akan terus berusaha untuk mengejar kualitas," jelasnya.
Kini, selain mengajarkan kelas hidroponik dan bisnis sayuran, Firdaus juga membuka kelas perawatan anggrek. Pesertanya beragam, mulai dari individu, komunitas, hingga siswa siswi di tingkat SMA.
Firdaus juga menitipkan pesan khusus bagi mereka yang berminat untuk berjualan anggrek sepertinya. "Sebelum terjun ke sini, lebih baik senangi terlebih dulu tanaman anggrek ini. Nanti setelah ditekuni, pasti pintu bisnis ini akan terbuka sendiri. Tetapi kalau belum disenangi, pasti risikonya besar. Jangan tergiur untungnya saja, lihat proses dan risikonya juga," ujarnya kepada Bisnis.