Bisnis.com, SEMARANG – Ika Puspita Rini masih mengenakan seragamnya ketika bertemu Bisnis pada Rabu (12/1/2022) sore. Ika, sapaan akrabnya, memang bekerja sebagai seorang guru di SD Lamper Kidul 2. Meskipun demikian, selama satu bulan terakhir, Ika memiliki kesibukan baru sebagai juragan bakso.
“Motivasinya untuk memulai usaha sendiri, sembari membantu kawan,” ucap Ika ketika ditanya mengenai ide usaha. Warung Bakso Tomyum Plered yang dimilikinya memang tidak dirintisnya sendiri. Ika bekerjasama dalam bentuk waralaba atau franchise dengan kawan-kawannya yang sudah lebih dulu menjalankan ide serupa.
“Teman-teman ini tidak hanya yang seprofesi dengan saya, ada yang chef, ada konsultan F&B, mereka ini dirumahkan. Artinya tidak ada pekerjaan, apalagi chef hotel, saya berpikir mereka tidak ada penghasilan. Kadang pun bekerja dalam sebulan hanya beberapa kali. Gajinya tidak mencukupi. Akhirnya karena teman-teman saya ini ingin memulai usaha, saya ikutan franchise,” jelas Ika.
Bertempat di kawasan Sompok, Semarang Selatan, Ika kini mempekerjakan satu orang karyawan untuk mengurus usahanya tersebut. Kesibukannya sebagai guru membuat Ika hanya bisa menjalankan usahanya di belakang layar, salah satunya dengan membuat promosi di media sosial. “Alhamdulillah, sekarang sudah ada beberapa pelanggan yang datang. Biasanya pekerja di sekitar sini untuk makan siang,” ucapnya.
Menu Restoran
Seperti namanya, Warung Bakso Tomyum Plered pertama kali dibuka di Jl. Gedung Batu Timur, Ngemplak, Simongan, Semarang Barat. Lokasinya persis di pinggir Banjir Kanal Barat Semarang yang kerap disebut warga sekitar sebagai ‘Plered’. Agus Margo adalah penggagasnya.
Pada mulanya, Agus bekerja sebagai seorang chef di sebuah restoran mewah di Kota Semarang. Pengalaman kerjanya sudah tidak bisa dikatakan singkat, hampir 14 tahun lebih. Namun, akibat pandemi Covid-19, Agus dan kawan-kawannya harus dirumahkan.
“Sehari sebelum saya membuka warung ini, saya dipanggil bos dan dikabarkan bahwa restoran tempat saya bekerja itu tutup. Jadi kebetulan sekali,” jelas Agus ketika diwawancarai Bisnis. Memang, baru 4 bulan lamanya setelah Agus dipecat dan membuka usahanya tersebut. Namun, selama 2 tahun terakhir, pendapatannya sudah jauh berkurang.
“Gaji itu tidak bisa pegang, karena selama pandemi ini saya dibayar harian. Saya harus membagi upah harian ini ke karyawan juga. Kalau saya masuk, gaji yang diterima karyawan bisa lebih sedikit. Ini kasihan juga sebetulnya,” jelas Agus.
Untuk menyambung hidup, Agus terpaksa mesti menyairkan simpanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dimiliki. “Itu sudah buat jalan sehari-hari dulu, selama 2 tahun. Dilihat-lihat kok semakin lama semakin menipis, daripada habis sekalian saja diputar dengan warung ini,” tambahnya.
Hidangan bakso tomyum sendiri sebetulnya merupakan salah satu menu dari restoran tempatnya dulu bekerja. “Walaupun menu tomyumnya sama, tapi kita harus menekan harga di Rp11.000. Di restoran kan harga bisa Rp30.000-40.000, tapi baksonya kan berbeda. Makanya di warung ini kita sesuaikan, baik di cita rasa ataupun isiannya,” ucap Agus.
Agus meracik sendiri bumbu tomyum yang nantinya dijadikan kuah. Tidak terlalu kental, karena Agus mesti menyesuaikan dengan lidah masyarakat luas yang belum terlalu familiar dengan kuliner tomyum. “Kita juga menyediakan garam sendiri, karena rasa tomyum itu memang kurang gurih. Tapi buat konsumen, kuah bakso itu harus gurih. Kaldunya itu semakin panas semakin enak. Itu sudah tidak bisa dihilangkan, lidah masyarakat itu sudah seperti itu, makanya kita sediakan garam,” jelasnya.
Alasan itu juga yang membuat Agus mesti menyediakan kuah tomyum dalam jumlah sedikit. Tak seperti pedagang bakso pada umumnya yang sudah lebih dulu membuat stok kuah. “Karena semakin malam, semakin dipanasi, rasanya memang akan jadi semakin gurih. Tetapi, kuahnya bisa jadi pecah karena terlalu kental,” jelasnya.
Agus memanfaatkan betul pengalaman panjangnya di dunia restoran. Satu per satu kawannya dihubungi saat Agus memulai usahanya tersebut. Mulai pemasok bahan baku bakso, saus tomyum, hingga influencer di media sosial. “Saya bisa lebih mudah untuk menjalankan publikasi dan promosi,” ucapnya.
Perihal promosi, menurut Agus, sebetulnya menjadi aspek penting yang mesti dijalankan pengusaha makanan sepertinya. “Meskipun kaki lima, kalau promosinya bagus, pasti tidak kalah dengan restoran. Asalkan tahu kondisinya, jangan terlalu sering karena orang juga bisa jenuh,” jelasnya.
Pada bulan-bulan pertama menjalankan usahanya, Agus bahkan menyisihkan keuntungan yang didapat hanya untuk menjalankan promosi. “Bulan kedua memang menurun, saya tidak ambil untuk, walaupun keuntungan bersihnya hanya Rp500.000. Tapi di bulan ketiga, hasil promosinya itu langsung terlihat. Modal awal langsung ketutup semua,” jelasnya.
Meskipun restoran tempatnya bekerja kini sudah tutup sepenuhnya. Namun, Agus mengaku bersyukur. “Ini karena berkah corona. Saya mau gak mau harus berani usaha. Mungkin kalau kerjaan saya tidak ada masalah, saya gak akan berani untuk memulai usaha,” ucap Agus.